"Kalau sudah ada UU Perampasan Aset. Pemerintah bisa ambil dulu asetnya sambil menunggu proses hukum. Jadi pelaku juga tak bisa berbuat apa-apa (terhadap asetnya)," kata Mahfud.
Meski masuk Program legislasi nasional (Prolegnas), pembahasan RUU Perampasan Aset memang masih berjalan alot. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani sempat membantah resistensi anggota parlemen terhadap beleid tersebut karena ancaman pemiskinan pada pelaku tindak pidana korupsi. Menurut dia, aturan tersebut bisa diterapkan pada seluruh tindak pidana yang menimbulkan kerugian negara seperti narkotika dan penyelendupan.
Politikus PPP tersebut mengeklaim DPR justru meminta pemerintah menyempurkan rancangan tersebut agar tak tumpang tindih dengan UU atau aturan lainnya. Menurut dia, perancangan UU harus tetap memperhatikan harmonisasi aturan sehingga tak menemukan kendala dalam penerapan.
Sementara Wakil Ketua Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) tersebut mengatakan, salah satunya adalah penghapusan subsidiaritas atau subsider hukuman yang kerap berisi denda uang pada terdakwa. "Pembentukan UU itu model tambal sulam. Harus dipikirkan agar selaras dengan seluruh politik hukum pidana nasional," kata Arsul seperti dilansir situs DPR.
Menurut dia, Indonesia memang harus memilisi UU Perampasan Aset karena telah menyerahkan instrumen ratifikasi atas United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes (UNCTOC). Dua dokumen ini, kata dia, menjadi cikal lahirnya RUU perampasan aset.
(frg)