Menurut Mahfud, RUU Pembatasan Transaksi Uang sebenarnya bisa membantu Indonesia menekan potensi praktik korupsi. Aturan ini akan menjegal praktik korupsi yang kerap menyerahkan suap atau fee dalam bentuk uang tunai.
Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) juga bisa langsung menelusuri profil tiap orang yang melakukan pembayaran mencurigakan di atas Rp 100 juta.
Selain itu, beleid ini juga lahir dari kecurigaan pemerintah terhadap pencairan dana anggaran di sejumlah daerah. Menurut Mahfud, sebagai contoh di Papua, sebagian besar anggaran dicairkan secara tunai untuk pembayaran. Praktik ini membuat pengawasan terhadap aliran uang ini sangat sulit.
Di sisi lain, pemerintah menerima informasi adanya pejabat yang membawa uang anggaran ke luar negeri dan ditukar dengan mata uang asing. Alih-alih berjudi atau lainnya, dia kembali dengan uang tersebut sebagai hasil kemenangan. Padahal hanya menukar mata uang dari dana anggaran yang dicairkan dalam bentuk tunai.
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga pernah merilis praktek pembatasan transaksi tunai sudah diterapkan di sejumlah negara. Hal ini menjadi komitmen serius pemerintahan tersebut untuk menekan angka atau potensi korupsi. Beberapa di antaranya seperti Pemerintah Malaysia yang membatasi transaksi tunai maksimal RM 50 ribu; Pemerintah Filipiha PHP 4 juta; dan Pemerintah India 200 ribu Rupee.
(frg/wep)