Polemik kasus ini sendiri terjadi usai penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Letkol Afri dan sejumlah pengusaha swasta, 25 Juli lalu. Pimpinan KPK kemudian menggelar konferensi pers yang isinya mengumumkan Afri dan Henri sebagai tersangka penerima suap.
TNI melalui Pusat Polisi Militer (Puspom TNI) kemudian mendatangi KPK untuk memprotes penetapan status tersangka pada anggota aktifnya. Mereka menilai, penetapan status hukum anggota militer aktif seharusnya kewenangan Puspom TNI. KPK cukup berkoordinasi saja.
Akhirnya, KPK menyampaikan permintaan maaf kepada TNI dan publik. Selain itu, penyidik juga menyerahkan Afri kepada Puspom TNI. Selang beberapa hari, Puspom TNI memang mengumumkan status Afri dan Henri sebagai tersangka. Keduanya juga ditahan di Rumah Tahanan TNI AU, Halim Perdanakusuma.
Meski sudah mereda, kekhawatiran terhadap proses hukum di internal TNI tetap menjadi pembicaraan. Hal ini merujuk pada kasus korupsi pengadaan Helikopter AgustaWestland atau AW-101.
Dalam kasus tersebut, KPK menyidik peran para pengusaha swasta yang terlibat dalam mark up harga helikopter dari Rp514 menjadi Rp738 miliar. Sedangkan, Puspom TNI memeriksa dan menangani sejumlah anggota TNI yang diduga terlibat, termasuk Marsekal Pertama Fachry Adamy yang menjadi pejabat pembuat komitmen proyek tersebut.
Proses pemeriksaan para tersangka tersebut berjalan seiringan. Meski demikian, Puspom TNI justru mengeluarkan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan terhadap lima perwira TNI yang terlibat dalam proyek tersebut.
Padahal, KPK berhasil menyeret para tersangka swasta ke pengadilan. Hakim pun menyatakan mereka bersalah dengan memberikan vonis penjara dan denda.
TNI Klaim Usut Transparan
Di sisi lain, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengklaim, jika kasus yang menyeret dua perwira TNI aktif itu di proses di pengadilan militer dan pengusutan kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) akan terbuka atau transparan.
"Yang perlu rekan-rekan catat semua, dalam proses penyelesaian untuk prajurit TNI yang terlibat permasalahan ini, kita dari penyidik dan aparat hukum di lingkungan TNI akan melaksanakannya dengan transparan," ujar Agung di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Namun, Feri menilai, pengadilan militer memang acapkali berhenti ditengah jalan, dan tanpa adanya tindak lanjut. Maka dari itu, pengadilan koneksitas tetap menjamin keberlanjutan pengusutan perkara itu.
“Maka terang benderang sebenarnya perkara ini harus diselesaikan dipengadilan umum, bukan dipengadilan militer,” kata Feri.
(ibn/frg)