Lebih lanjut Habiburokhman menjelaskan beberapa pertimbangan yang mengisyaratkan sinyal persetujuan batas usia minimal capres-cawapres diubah. Pertimbangan pertama, dia memaparkan terkait bonus demografi dan perlunya kesempatan anak muda menduduki jabatan tinggi di sebuah negara.
"Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), diperkirakan masuk masa bonus demografi dengan periode puncak antara tahun 2020 sampai 2030. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai 2 kali lipat jumlah usia penduduk anak dan lanjut usia, jumlah penduduk usia produktif yang besar menyediakan sumber tenaga kerja, pelaku usaha dan konsumen potensial yang sangat berperan dalam percepatan pembangunan," ujarnya melalui siaran resmi MK, dikutip Rabu (2/8/2023).
Sebab itu, dia menilai penduduk usia produktif bisa berperan sekaligus mempersiapkan para generasi muda terhadap pembangunan nasional seperti mencalonkan diri menjadi capres maupun cawapres.
Pertimbangan selanjutnya, politikus Partai Gerindra itu membeberkan jika sudah banyak negara yang menerapkan batas usia capres cawapresnya di angka 35 tahun. "Di antaranya Amerika Serikat, Brasil, Rusia, India dan Portugal."
Pada saat yang sama, perwakilan dari pemerintah yakni Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Togap Simangunsong menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945, dia menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Siapa pun, warga negara, memiliki hak yang sama untuk mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memerhatikan penalaran logis atas kemampuan melaksanakan tugas-tugas kenegaraaan," kata Togap dalam sidang MK yang dilangsungkan Selasa (1/8/2023).
Dia juga menyinggung soal penduduk usia produktif. Menurutnya, hal itu perlu dipertimbangkan dalam memutuskan batas usia pencalonan capres dan cawapres.
Namun baik DPR maupun pemerintah mengaku tetap menyerahkan kebijakan tersebut sepenuhnya kepada hakim Mahkamah Konstitusi.
(ibn/ezr)