Logo Bloomberg Technoz

Langkah Jokowi untuk menaikkan posisi Indonesia dalam rantai nilai industri kendaraan listrik akan menjadi langkah kompleks dan tidak pasti ketimbang upayanya mendorong hilirisasi komoditas nikel.

Ilustrasi Presiden Jokowi saat bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. (Dok: Bloomberg)

Kapasitas nikel Indonesia yang besar menjadikannya target investasi menjadi menarik, Makoto Tsuchiya, asisten ekonom di Oxford Economics, menulis dalam sebuah laporan. Namun, “masih ada ruang untuk peningkatan lanjutan guna memastikan posisi Indonesia dalam rantai pasokan kendaraan listrik global.”

Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara membutuhkan lebih banyak tenaga kerja terampil, infrastruktur industri yang lebih baik. Suplai energi rendah karbon juga harus diperbanyak jika ingin mewujudkan ambisi memproduksi baterai atau kendaraan listrik dalam jumlah besar.

Tsuchiya menambahkan bahwa Indonesia perlu menawarkan keramahan berbisnis dan kepastian regulasi dibandingkan pada masa lalu.

Penciptaan energi dan lingkungan lebih baik harus menjadi prioritas utama. Perekonomian Indonesia dikenal masih sangat bergantung pada komoditas batu bara. Jejak karbon hasil produksi nikelnya jauh lebih tinggi daripada rata-rata global.

Ilustrasi penambangan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. (Dok: Bloomberg)

Fakta hari ini memberi penilaian negatif dari pada para produsen mobil listrik, dimana mereka tengah berupaya memamerkan kredensi keberlanjutan, atau ingin menghindar kemungkinan tarif perdagangan —seperti yang dicanangkan oleh Uni Eropa (UE) —yang mengklasifikasi barang berdasarkan jejak karbonnya.

Beberapa perusahaan pemurnian nikel mencoba untuk mencari jalan keluar atas kekhawatiran tersebut, misalnya berencana  membangun pembangkit listrik tenaga surya atau angin sebagai energi pabrik mereka.

Tenaga kerja berkualitas dari Indonesia jadi isu yang patut diperhatikan. Hanya seperlima dari penduduk Indonesia dengan usia 25-34 tahun yang berpendidikan tinggi. Bandingkan dengan rata-rata negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang sekitar 50%.

Indonesia juga perlu meyakinkan para investor yang masih berpikir soal rekam jejak negara ini dalam perubahan kebijakan dan birokrasi yang berlebihan.

Di mana, kebijakan ekspor nikel Indonesia terus berganti selama satu dekade terakhir. Terbaru, larangan ekspor konsentrat tembaga ditunda pada menit-menit terakhir hingga Mei 2024.

Masa kepresidenan Jokowi akan berakhir dengan pemilihan umum yang dijadwalkan pada bulan Februari tahun depan. Setidaknya ada konsensus politik seputar strategi hilirisasi yang dipelopori oleh Jokowi. Ia memiliki impian Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045.

Jokowi menegaskan bahwa hilirisasi dapat menciptakan 10 juta lapangan kerja baru dalam jangka menengah. Presiden setelah era Jokowi perlu hati-hati dalam mencapai target tersebut.

“Keberhasilan dalam hal ekspor dan investasi sangat terlihat, jadi asumsinya adalah bahwa akan ada kebijakan yang baik dalam hal hilirisasi, jika ada sesuatu yang berubah, hal itu akan menjadi kejutan yang negatif dan tidak menyenangkan bagi para investor,” kata  Mohamed Faiz Nagutha, ekonom Bank of America.

(bbn)

No more pages