Sebagai tindak lanjut, salah satu menteri Jokowi diagendakan mampir ke BYD Co. China, raksasa EV yang telah sepakat menjajaki proyek di Indonesia. Pejabat yang sama juga akan bertemu Elon Musk dari Tesla Inc. di California akhir pekan ini.
Upaya Jokowi untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam rantai nilai EV global akan menjadi tugas yang jauh lebih kompleks dan tidak pasti, ketimbang kisah suksesnya membangun industri nikel negara tersebut.
Dalam sebuah laporan baru-baru ini, asisten ekonom di Oxford Economics Makoto Tsuchiya menulis bahwa kapasitas nikel yang besar memang menjadikan Indonesia target investasi yang menarik.
“Namun, ada ruang untuk perbaikan lebih lanjut guna memantapkan negara tersebut dalam rantai pasok EV global,” paparnya.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan lebih banyak tenaga kerja terampil, infrastruktur industri yang lebih dalam, serta lebih banyak pasokan energi rendah karbon jika ingin memproduksi baterai atau kendaraan listrik dalam volume tinggi.
Ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu juga perlu menawarkan iklim investasi dan peraturan yang lebih stabil daripada sebelumnya, kata Tsuchiya.
Sumber energi yang lebih bersih dan kredensial lingkungan yang lebih baik menempati urutan teratas dalam daftar tugas yang harus dilakukan pemerintah. Terlebih, perekonomian Indonesia sangat bergantung pada batu bara. Jejak karbon dari produksi nikel di Tanah Air jauh lebih tinggi daripada rata-rata global.
Hal itu menjadi sentimen negatif bagi investor EV yang mencoba memamerkan misi keberlanjutan, atau ingin menghindari kemungkinan hambatan tarif – seperti yang direncanakan oleh Uni Eropa – yang ‘menghukum’ barang berdasarkan jejak karbonnya.
Beberapa perusahaan nikel di Indonesia mencoba untuk mengatasi masalah tersebut, misalnya dengan merencanakan pembangkit listrik tenaga surya atau angin untuk memberi daya pada fasilitas pemurnian mereka.
Di sisi lain, terdapat juga kekhawatiran tentang kualitas tenaga kerja Indonesia. Hanya seperlima penduduk Indonesia berusia 25—34 tahun yang telah mencapai pendidikan tinggi, jauh lebih rendah dari rata-rata sekitar 50% di antara negara-negara Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Indonesia juga perlu meyakinkan investor untuk waspada terhadap rekam jejak inkonsistensi kebijakan dan birokrasi yang berbelit. Hal itu tecermin dari kebijakan ekspor nikel negara itu yang terbalik selama dekade terakhir. Baru-baru ini, larangan ekspor konsentrat tembaga juga diitunda pada menit terakhir hingga Mei 2024.
Kepresidenan Jokowi berakhir dengan pemilihan yang diagendakan pada Februari tahun depan. Setidaknya ada konsensus politik yang luas seputar strategi penghiliran yang dipelopori oleh Jokowi, yang dia jadikan pusat target untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi pada 2045.
Jokowi mengatakan penghiliran dapat menciptakan sebanyak 10 juta pekerjaan baru dalam jangka menengah. Untuk itu, para pemimpin yang akan menggantikannya perlu mengarahkan jalan yang hati-hati untuk mencapai target itu.
“Keberhasilan dalam hal ekspor dan investasi [nikel] sangat terlihat, jadi asumsinya adalah bahwa akan ada kesinambungan kebijakan penghiliran yang cukup baik,” kata ekonom Bank of America Mohamed Faiz Nagutha.
"Jika ada sesuatu yang berubah [dalam hal arah kebijakan], itu akan menjadi kejutan negatif dan tidak menyenangkan bagi investor."
(bbn)