Ini menjadi kontraksi PMI manufaktur pertama di China dalam 3 bulan terakhir.
“Produksi dan permintaan produk manufaktur sama-sama terkontraksi. Permintaan masih lemah, sehingga produksi mengikuti. Permintaan baru (new orders) berada di posisi terlemah sejak Desember.
“Sementara permintaan ekspor turun tajam pada Juli. Indeks yang mengukur permintaan ekspor berada di posisi terendah sejak September,” papar Wang Zhe, Ekonom Senior Caixin Insight Group, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Pada kuartal I, lanjut Wang, ekonomi China sebenarnya pulih melebihi ekspektasi. Namun momentum pemulihan itu melemah memasuki kuartal II.
Pertumbuhan ekonomi, tambah Wang, masih lemah. Risiko ke bawah downside risk) pun meningkat.
“Rapat Politbiro Partai Komunis China menggarisbawahi mengenai tantangan ekonomi. Rapat ini menekankan pentingnya untuk secara aktif mendorong permintaan domestik dan menjadikan konsumsi dalam negeri sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini, dampak kebijakan moneter dalam mendorong permintaan masih terbatas. Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang ekspansif semestinya menjadi prioritas,” tegas Wang.
Efek ke Indonesia
Padahal, awalnya China menjadi tumpuan pemulihan ekonomi dunia usai negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu mencabut kebijakan zero Covid-19. Banyak negara yang menggantungkan nasib kepada permintaan dari China.
Namun sejauh ini, harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud.
“Ketidakpastian meningkat di China, seiring pelemahan momentum perekonomian dunia. Proyeksi perlambatan ekonomi di China belum kunjung membaik,” tegas Bruce Pang, Kepala Ekonom untuk China di Jones Lang LaSalle Inc, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.
Kelesuan ekonomi China sudah dirasakan oleh Indonesia. Paling terasa adalah di bidang perdagangan, karena China adalah negara mitra dagang nomor 1 bagi Indonesia.
Pada semester I-2023, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China tercatat US$ 29,93 miliar. Angka ini menyumbang hampir 25% dari total ekspor non-migas.
Kelesuan permintaan China membuat ekspor Indonesia terpukul. Pada semester I-2023, ekspor Indonesia turun 8,86% dibandingkan semester I-2022.
Tidak hanya ekspor, impor Indonesia pun turun. Penurunan impor tidak selalu menjadi kabar baik, karena impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dan investasi di dalam negeri.
Pada semester I-2023, nilai impor Indonesia turun 6,24% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Penurunan aktivitas manufaktur di China membuat ekspor mereka anjlok 12,4% yoy, terdalam selama 3 tahun terakhir. Akibatnya, impor Indonesia pun terpengaruh,” sebut Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri.
Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pun ikut terdampak. Kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak setinggi tahun lalu yang 5,31%.
Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh 4,9%.
Bahana Sekuritas memperkirakan ekonomi Ibu Pertiwi tahun ini tumbuh 4,8%. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut ekspor pada kuartal I memang masih tumbuh positif. Namun itu lebih disebabkan oleh pengiriman di awal atau frontloading.
“Pada kuartal-kuartal ke depan, kemungkinan akan terjadi normalisasi. Ini akan menahan pertumbuhan ekonomi,” sebut Satria.
Pada 2022, ekspor menyumbang hampir 15% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
(aji)