Meski demikian, pelemahan rupiah selama Juli terpantau melambat dengan penurunan 0,37% dibandingkan pelemahan pada Juni yang mencapai 0,69%.
Rupiah pada Juli sempat melesat ke level terkuat pada 14 Juli ke posisi Rp14.935/US$ menyusul kembalinya animo asing ke pasar SBN dengan keyakinan pemodal bahwa puncak bunga The Fed sudah dekat.
Nilai rupiah juga tersokong sentimen positif dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan penempatan devisa hasil ekspor di sistem perbankan dalam negeri sebesar 30% dari nilai transaksi selama minimal 3 bulan. Hal itu menguatkan ekspektasi bahwa nilai rupiah ke depan akan cenderung lebih stabil menguat disokong limpahan valas di dalam negeri.
Namun, menutup Juli, pada perdagangan terakhir kemarin nilai rupiah tidak berhasil menembus meninggalkan zona Rp15.000/US$ akibat menguatnya lagi gelombang hawkish di pasar global sejurus dengan langkah mengejutkan Bank of Japan menaikkan batas trading obligasi yen.
Pada saat yang sama, semakin sempitnya selisih antara imbal hasil surat utang RI dengan Amerika membuat pamor aset rupiah terkikis.
Pada akhir Juni, selisih yield INDOGB 2 tahun dengan UST 2 tahun menembus rekor tersempit, hanya terpaut 96 bps, itu adalah yang selisih terkecil sepanjang masa. Walau sepanjang Juli, selisih imbal hasil kembali merentang di atas 100 bps.
Imbal hasil untuk obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga bergerak di bawah 250 bps dibanding yield US Treasury.
Kinerja Juli yang suram bagi rupiah berkebalikan dengan performa mayoritas valuta Asia. Indeks Bloomberg Asia Dollar mencatat kenaikan 1,5% selama Juli dengan performa ringgit Malaysia sebagai valuta Asia terbaik.
Performa Agustus
Memasuki Agustus, mata uang Indonesia nyatanya belum mampu mempertahankan ketangguhan kendati ada banyak data positif fundamental perekonomian RI yang seharusnya bisa mendukung rupiah.
Aktivitas manufaktur Indonesia melanjutkan penguatan pada Juli, memperpanjang reli di zona ekspansi selama hampir 2 tahun terakhir. Inflasi domestik juga terus menunjukkan tren landai menggarisbawahi keberhasilan Indonesia menaklukkan badai inflasi tinggi pascapandemi.
Pada saat yang sama, tekanan ketidakpastian global yang masih berputar di masalah inflasi tinggi dan bunga acuan negara-negara kawasan ekonomi utama yang bisa mengancam stabilitas rupiah, beberapa di antaranya sudah diantisipasi dengan dirilisnya gebrakan kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor berlaku efektif 1 Agustus ini.
Kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor itu diperkirakan bisa membawa pulang valas ke sistem dalam negeri hingga Rp900 triliun dan membawa posisi cadangan devisa RI melompat dua kali lipat menjadi US$300 miliar dalam setahun ke depan.
Bank Indonesia meyakini dengan aktif mengintervensi tekanan yang dihadapi rupiah di pasar, sejurus dengan twist operation dan triple intervention, itu sudah akan memadai mengawal nilai rupiah agar tidak terus melemah alih-alih menaikkan bunga acuan untuk memperlebar tingkat imbal hasil.
"Bank Indonesia telah eksplisit dalam strateginya memanfaatkan cadangan devisa ketimbang bunga acuan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan mereka memiliki amunisi yang cukup untuk melakukannya. Ini mengirimkan pesan [pada pasar] 'jangan melawan bank sentral' yang jelas yang sebaiknya diperhatikan oleh pedagang valas," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.
Rupiah berada di posisi yang lebih rentan dalam jangka pendek mengingat imbal hasil US Treasury diprediksi akan terus tinggi dalam waktu lebih lama kendati para pemodal global cenderung menilai puncak bunga acuan Federal Reserve sudah tercapai, menurut Khoon Goh, Head of Asia Research di ANZ Singapura seperti dilansir Bloomberg News.
Meski demikian, dalam jangka panjang, analis memprediksi USD/IDR berpeluang menguat ke kisaran Rp14.500-Rp14.700 per dolar AS.
(rui)