Tidak ada kecurigaan sama sekali terhadap Indosurya, yang baru-baru terakhir ia ketahui, mengalami gagal banyak ke banyak nasabah. Indosurya yang Melia tahu bukanlah lembaga koperasi.
“Saya sama sekali tidak dikasih tahu kalau masuknya di koperasi, tahunya menaruh deposito di Bank Indosurya,” cerita Melia.
Dalam profil perusahaan yang diterima Melia, tidak ada informasi mengenai hal tersebut. Kala itu ia beranggapan Indosurya punya reputasi yang bagus, bahkan kerap mendapatkan penghargaan.
Melia dan nasabah lainnya baru mengetahui status Indosurya sebagai koperasi pada 2020. “Di tahun 2020 baru kita dinyatakan sebagai anggota koperasi di mana kita harus menukar bilyet dan itu masuknya ke koperasi Indosurya,” tambahnya.
Setelah itu, kata Melia, pihak KSP Indosurya berusaha meyakinkan nasabah bahwa kondisi perusahaan masih sangat kuat dan aman. Indosurya mengklaim baru mendapatkan suntikan dana sebanyak jutaan dolar dari luar negeri.
Usai kasus mulai banyak diperbincangkan, Indosurya masih meminta nasabah untuk melakukan top up dana. “Beberapa hari kemudian, keluar lah pengumuman kalau mereka gagal bayar. Mereka juga mengeluarkan skema pembayaran selama dua tahun dan semua nasabah tidak mau terima,” tambahnya.
Ketua Aliansi 896 Korban KSP Indosurya, Teddy menambahkan hingga saat ini, dirinya belum menerima ganti rugi atas dana pensiun yang hilang akibat gagal bayar KSP Indosurya. Meskipun demikian, Teddy enggan menyebut nominal uang yang ia masukkan di Indosurya.
Teddy mewakili para korban juga mendukung langkah-langkah yang diambil kepolisian. “Kami melihat bahwa aliran dan penerima dana belum terungkap secara maksimal, yang sekarang terungkap sebagai sitaan aset Rp 2,2 triliun. Masih jauh dari jumlah kerugian korban. Kami berharap penelusuran sitaan aset dilanjutkan walaupun putusan pengadilan sudah berkekuatan tetap nantinya,” kata Teddy.
(tar/wep)