Dia pun mengingatkan agar masyarakat memahami bahwa harga pangan di dalam negeri tidak hanya dipengaruhi fenomena cuaca seperti El Nino, tetapi juga krisis geopolitik seperti perang Rusia dan Ukraina.
Terlebih, beberapa komoditas agrikultur Indonesia masih diimpor, seperti gandum serta bahan baku pupuk NPK; khususnya pospor dan kalium yang masih banyak diimpor dari Yordania dan Belarusia.
Ketersediaan Pakan
Dalam kaitan itu, Arief menjelaskan fokus pemerintah tidak sekadar pada penjagaan stok, produksi, dan harga pangan; tetapi juga komoditas penunjang pertanian seperti pupuk dan pakan ternak.
“Salah satu yang juga menjadi isu adalah jagung. Jadi, jagung ini memang seharusnya kita punya cadangannya sehingga Bapanas ditugaskan oleh Presiden untuk menyediakan pakan bekerja sama dengan Bulog. Kita punya corn dryer center [CDC], ini harus diisi dan disimpan dengan kadar air 14%—15%. Kita harus selalu isi,” terangnya.
Stok pakan tersebut selanjutnya akan diserap dan disimpan oleh Perum Bulog (Persero) dan dikeluarkan sewaktu-waktu terjadi krisis pakan. Arief menyebut Indonesia membutuhkan stok pakan sebanyak 10 juta ton, di mana 2 juta ton di antaranya untuk peternak mandiri.
“Ini yang kita sambungkan secara end to end, dan sekarang kita bertahan supaya tidak impor jagung dan kita atur sedemikian rupa. Kalau kelebihan, malah kita ekspor,” tuturnya.
Dia menambahkan bahwa pemerintah juga tengah menghitung ulang harga jagung pakan yang tepat, masing-masing untuk peternak ayam pedaging dan ayam petelur, seiring dengan tren kenaikan biaya produksi akibat tingginya harga jagung dunia.
(wdh)