Selanjutnya, surveyor menggunakan metode simple random sampling untuk menetapkan siswa SMA sebagai responden. Total ada 947 sampel yang didapat, dengan margin of error 3,3% pada tingkat kepercayaan 95%.
Dalam survei itu, ditemukan lima faktor yang dapat mempengaruhi sikap toleran/intoleran pada remaja. Di antaranya pemahaman wawasan kebangsaan, intensitas penggunaan sosial media, aktivitas keseharian responden, sikap keagamaan dan kondisi sosial ekonomi responden.
"Semua variabel ini menunjukkan korelasi positif sebagai pembentuk karakter siswa," ujarnya.
Menyusul hasil survei itu, Setara meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) yang dibentuk dengan Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 terus meningkatkan kualitas dan persebaran program-programnya ke semua jenjang pendidikan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat pendidikan.
Selain itu para penyelenggara pendidikan diminta meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Menurut Halili, dua variabel itu memiliki korelasi positif sebagai pembentuk karakter toleransi siswa.
Kemdikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag) dinilai perlu membentuk instrumen pembinaan yang efektif bagi guru-guru mata pelajaran Agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan termasuk memberikan fasilitas peningkatan kualitas pengajaran.
Dua kementerian ini juga diminta merespons masih tingginya kategori siswa yang intoleran aktif dan terpapar radikalisme.
(ezr)