Adapun pagi hari tadi, Bank of Japan mempertahankan lagi bunga acuan -0,1% akan tetapi langkah bank sentral menawarkan untuk membeli obligasi pada bunga 1% setiap hari di mana tingkat itu berada di atas batas pagunya sendiri yaitu 0% plus minus 0,5%, menimbulkan ketidakjelasan pesan bagi pasar. Kebijakan BoJ itu memicu kebingungan bahkan dianggap memberi sinyal hawkish, sesuatu yang mengejutkan menilik rekam jejak Gubernur Kauzo Ueda yang konsisten melontar sinyal dovish.
Bank Sentral Harus Konsisten
Dalam publikasi terakhir World Economic Outlook yang dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF), lembaga ini memperkirakan inflasi IHK global akan turun dari 8,7% pada 2022 menjadi 6,8% pada 2023 lalu semakin rendah ke 5,2% pada 2024. Walau terjadi penurunan, tingkat inflasi itu masih lebih tinggi dibandingkan era sebelum pandemi di kisaran 3,5%.
"Sekitar tiga perempat ekonomi dunia diperkirakan akan mencatat penurunan inflasi IHK rata-rata tahunan pada 2023. Kebijakan pengetatan moneter diperkirakan akan secara bertahap meluruhkan inflasi, akan tetapi penyetir utama tren disinflasi tahun ini adalah lebih karena penurunan harga komoditas global," demikian tulis IMF.
Prediksi inflasi global pada 2023 oleh IMF itu lebih rendah 0,2% dibandingkan prediksi terakhir yang dirilis April lalu, terutama karena rendahnya inflasi di China.
Adapun inflasi inti global juga secara umum akan turun bertahap yaitu dari 6,5% pada 2022 menjadi 6% tahun ini dan luruh menjadi 4,7% pada 2024. Inflasi inti terbukti lebih persisten alias keras kepala terutama karena keras kepalanya inflasi inti di negara-negara maju.
"Secara tahunan, sekitar setengah dari perekonomian dunia tidak mengalami penurunan inflasi inti pada 2023 meski pada kuartal IV sebanyak 88% ekonomi diprediksi akan menurun. Secara keseluruhan, inflasi diperkirakan masih di atas target 2023 di 96% wilayah ekonomi dengan target inflasi," jelas IMF.
Lebih lanjut, IMF menyarankan bank sentral di negara-negara di mana inflasi begitu keras kepala agar terus secara konsisten dan jelas memberi sinyal komitmen memerangi inflasi. Stance restriktif diperlukan sampai ada tanda-tanda jelas bahwa inflasi telah mereda, demikian jelas IMF.
Di tengah masih tingginya ketidakpastian, penyesuaian kebijakan berdasarkan data dan menghindari pelonggaran moneter yang prematur menjadi hal penting sembari memastikan stabilitas sektor keuangan terjaga.
Devisa Hasil Ekspor
Bank Indonesia praktis telah memenangkan pertarungan menjinakkan inflasi dengan kembalinya inflasi ke jangkar. Inflasi IHK Juni lalu sudah di angka 3,52% disusul inflasi inti sebesar 2,58%. Capaian itu lebih cepat dari perkiraan bank sentral sendiri.
"Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia meyakini inflasi tetap terkendali dalam kisaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023 dan 2,5±1% pada 2024," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Selasa (25/7/2023).
Inflasi yang melandai menjadi dasar utama mengapa BI merasa tidak perlu reaktif menaikkan BI7DRR sekalipun bunga acuan Amerika menyentuh 5,75% dalam waktu dekat.
Bank Indonesia juga lebih optimistis memprediksi pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II-2023 yaitu sebesar 5,1%, lebih tinggi ketimbang capaian kuartal sebelumnya 5% dan jauh lebih optimistis dibanding hasil konsensus para ekonom yang disurvei Bloomberg di angka 4,9%.
"Penentuan suku bunga acuan diputuskan berdasarkan perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi domestik. Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi cukup baik sehingga, ya sudah, 5,75% sudah pas, konsisten. Bila FFR naik bagaimana? Jamunya apa kalau bukan suku bunga? Jamu BI bukan hanya suku bunga makanya kita pakai jamu stabilisasi nilai tukar melalui intervensi, twist operation maupun triple intervention," jelas Perry.
Pernyataan itu di mata ekonom mengirim pesan lugas bahwa MH Thamrin cukup percaya diri menghadapi riak ombak tekanan eksternal manakala bunga acuan di negara-negara maju terus mendaki gunung.
"Bank Indonesia telah eksplisit dalam strateginya memanfaatkan cadangan devisa ketimbang bunga acuan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan mereka memiliki amunisi yang cukup untuk melakukannya. Ini mengirimkan pesan [pada pasar] 'jangan melawan bank sentral' yang jelas yang sebaiknya diperhatikan oleh pedagang valas," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.
Kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor mulai diberlakukan Agustus dan diprediksi bisa menarik valas ke dalam negeri sedikitnya Rp900 triliun. Pemerintah bahkan optimistis langkah tersebut bisa mendukung kenaikan nilai cadangan devisa RI ke kisaran US$300 miliar setahun ke depan. Bekal yang dinilai memadai di tengah terus tertekannya kinerja ekspor sejurus dengan pelemahan global dan berakhirnya pesta harga komoditas dunia.
Menguji Kepercayaan Diri
Pelaku pasar surat utang domestik bahkan mulai menghitung peluang Bank Indonesia berbalik arah memulai siklus pemangkasan bunga acuan. Pengguntingan bunga BI7DRR dinilai perlu ditempuh untuk memperbaiki mismatch antara inflasi dan bunga acuan yang berdampak negatif terhadap potensi bullish rally di pasar obligasi domestik.
Juga, untuk mendorong pertumbuhan kredit agar mampu bangkit. Bank Indonesia telah menurunkan prediksi pertumbuhan kredit tahun ini dari 10%-12% menjadi 9%-11%.
"Mismatch bunga vs inflasi menimbulkan distorsi di pasar tecermin dari yield SUN tenor 10 tahun tercatat lebih rendah ketimbang floor bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) 1 bulan. Padahal kondisi fundamental APBN serta keseimbangan penawaran dan permintaan obligasi mengindikasikan bullish market," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia.
Sebagai catatan, anomali yield INDOGB 10 tahun yang lebih rendah ketimbang JIBOR 1 bulan terjadi sejak April dan hanya pernah terjadi dua kali dalam 20 tahun terakhir yakni pada Januari-November 2006 dan dalam dua bulan terakhir.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi domestik juga membutuhkan dorongan lebih dari sekadar stimulus bansos ataupun suntikan likuiditas makroprudensial senilai Rp47 triliun untuk sektor perbankan.
Pertumbuhan kredit perbankan pada Juni tercatat semakin rendah di angka 7,76% dari capaian 9,39% pada bulan sebelumnya. Kredit korporasi mencatat kinerja lebih buruk dengan pertumbuhan cuma 6,4% setelah naik 9% pada Mei.
Sedangkan kredit perorangan tumbuh 9,1%, melambat dari sebesar 9,7% pada Mei.
Insentif likuiditas yang dilakukan di tengah kondisi likuiditas yang sudah melimpah, terindikasi dari angka Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi 26,73% per Juni menurut catatan bank sentral. Ditambah Dana Pihak Ketiga juga masih tumbuh 5,8% bulan lalu seiring masih tingginya penawaran bunga simpanan.
Bank pada akhirnya lebih banyak memilih memutar dana di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), terlebih saat ini JIBOR 1 bulan berada di level 6,4%, jauh melampaui yield SUN 10 tahun di 6,275%.
Pemberian insentif likuiditas pada perbankan untuk mendukung penyaluran kredit kepada sektor-sektor usaha hilirisasi, perumahan, pariwisata dan UMKM, dinilai belum akan menjawab masalah mendasar, yaitu permintaan kredit dari dunia usaha yang lemah.
Dunia usaha perlu rangsangan lebih paten agar bisa tercipta kebutuhan pembiayaan ke bank di tengah masih lesunya permintaan. Bisa dalam bentuk insentif fiskal maupun moneter.
Dengan demikian, dana di perbankan tidak menumpuk sia-sia agar bank bisa menjalankan fungsi intermediasi serta menggerakkan sektor riil.
Penurunan bunga acuan dinilai bisa menjadi solusi yang tepat alih-alih pemberian insentif likuiditas melalui kebijakan pengurangan Giro Wajib Minimum.
"Masalah sisi permintaan kredit membutuhkan penurunan suku bunga sebagai solusi, bukan penyesuaian Giro Wajib Minimum. Menurunkan rasio cadangan atau GWM hanya akan menambah pasokan likuiditas ekstra ke sektor perbankan yang sudah dibanjiri likuiditas. Hal itu berpotensi mendorong bank menyalurkan dana ke obligasi alih-alih meminjamkannya ke sektor riil," imbuh Satria.
Dengan perkiraan permintaan kredit perbankan masih akan lemah dalam tiga bulan ke depan, Bank Indonesia terdesak untuk memutuskan ramuan kebijakan yang tepat agar bisa membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia di kala rupiah telah memiliki kepercayaan diri yang memadai dalam menghadapi gelombang hawkish global di depan sana.
(rui/aji)