Logo Bloomberg Technoz

"Saya sih melihat Jokowi itu tidak terlalu betah di PDIP. Gestur tubuh Jokowi dengan PDIP tidak terlalu cocok, tidak terlalu pas. Walaupun Jokowi kader PDIP tapi di PDIP Jokowi enggak memiliki power, kekuasaan, tidak punya peran. Yang berperan adalah ketumnya Megawati (Soekarnoputri). Oleh karena itu bisa saja dalam konteks pilpres Jokowi ingin menunjukkan bargaining position ke PDIP," kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin saat dihubungi pada Rabu petang (26/7/2023).

Menurutnya, Jokowi memang tak bisa diabaikan karena selama ini PDIP mendapatkan efek ekor jas dari sang petugas partai. Figur Jokowi menjadi faktor penggenjot suara bagi partai itu. Namun figur sentral Megawati Soekarnoputri masih sangat kuat. Tetap kata Ujang, penentuan calon wakil presiden PDIP bisa tak melibatkan Jokowi. Apalagi partai moncong putih memiliki tiket emas tak harus bergantung pada partai lain. Malah sejumlah partai kini mulai merapat ke kubu partai penguasa.

"Jokowi memang punya agenda politik sendiri tetapi sosok sentral tetap Mega, menang kalah tetap Mega berkuasa di PDIP," lanjut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut.

Berbeda dengan Ujang, pengamat politik Ray Rangkuti menilai Jokowi sangat bertaji sebagai king maker. Dia percaya bahwa Jokowi sedang memainkan peran untuk memastikan dua calon yang dia mau (Ganjar dan Prabowo) maju ke putaran selanjutnya. Sementara calon presiden Anies Baswedan dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan itu akan tertinggal di pertarungan awal.

Kematangan Jokowi juga terlihat dari sejumlah hal. Pertama, ia menunjukkan kedekatan dengan figur-figur calon wakil presiden yang namanya sering bertengger di survei setahun terakhir. Belakangan Jokowi kerap menunjukkan kebersamaan dengan Erick Thohir dan Prabowo. Erick, nama yang santer jadi cawapres itu memang selama ini dianggap sebagai "orangnya" Jokowi. Di sisi lain, Jokowi juga ramah dengan Sandiaga Uno, cawapres yang selama ini digadang kuat untuk mendampingi Ganjar Pranowo.

Yang menarik, belakangan hubungan Jokowi dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pembesut Koalisi Perubahan malah diduga pulih. Buktinya usai pelantikan menkominfo yang baru, Jokowi mengundang Surya Paloh ke Istana Negara dalam pertemuan empat mata. Usai bertemu Jokowi, Surya dengan wajah yang semringah tak menampik bahwa mereka membicarakan soal calon wakil presiden.

Perihal cawapres ini memang belakangan menjadi gamang di kubu Koalisi Perubahan. Partai Demokrat dan Partai NasDem mengajukan nama berbeda. Sementara Anies yang diberikan mandat memilih calon pendampingnya tak kunjung menghadirkan kepastian.

Kompleks sekaligus fleksibelnya Jokowi sebagai 'penentu raja' dinilai Ray Rangkuti sebagai gaya politik keseimbangan. Menurut dia, apabila Jokowi terlalu condong ke salah satu capres maka akan menguntungkan bagi kubu Anies Baswedan yang selama ini menarik garis demarkasi dengan Jokowi.

Namun, pendiri Lingkar Madani itu sependapat bahwa Jokowi seharusnya mendapat ruang lebih luas di PDIP. Selama ini Megawati seolah sudah berada di atas angin dan enggan memberikan Jokowi keleluasaan memasangkan figur cawapres buat mendampingi Ganjar. Berhadapan dengan tembok tebal, kata Ray, membuat Jokowi memilih mengambil jalan memutar tanpa harus frontal melawan Megawati. 

Ia terus memamerkan kedekatan dengan Prabowo di berbagai kesempatan baik secara formal maupun informal. Hal tersebut bisa dibaca sebagai sinyal buat Megawati bahwa Jokowi bukan kader yang bisa diremehkan apalagi dianggap lame duck (bebek lumpuh). "Inilah konteksnya ya pak Jokowi tetap menggunakan politik keseimbangan karena masih proses tawar-menawar, PDIP juga enggak mau wapres ditentukan pak Jokowi," katanya.

PDIP kata dia tentu sadar bahwa Jokowi memiliki kontribusi besar menyumbang suara bagi partai itu. Diperkirakan kata dia, yang memilih PDIP setidaknya 15% karena coat tail effect Jokowi. Namun saat ini mereka akan fokus pada Ganjar apalagi capres tersebut memang elektabilitasnya tak melesat naik tetapi juga bukan melorot.

"Kalau sekarang belum ada juga penurunan signifikan dari Ganjar. Kecenderungan (tetap) naik bukan turun tapi naiknya itu tidak cepat. Nah itu yang saya sebut pak Jokowi sengaja agar di antara keduanya (Prabowo-Ganjar) tidak terlalu jauh selisih elektabilitasnya," ucapnya.

(ezr)

No more pages