Menurut Asakawa, saat ini China tengah menghadapi laju penurunan populasi ditambah tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mencapai emisi karbon nol pada 2060 mendatang.
“Saya kira (China) tidak akan kembali ke level pertumbuhan 7% atau 9%,” imbuhnya.
Langkah China membuka lagi perekonomiannya setelah tiga tahun pandemi yang gelap, juga akan berdampak pada laju inflasi global menyusul perkiraan kenaikan permintaan minyak dunia.
Perang di Ukraina yang mempengaruhi harga energi dan akhirnya memicu pengetatan moneter di seluruh dunia, sudah menyeret pertumbuhan ekonomi global.
Sementara negara-negara Asia yang tidak terlalu terpengaruh harga gandum masih bisa menikmati stabilitas harga beras, walau saat ini mulai merangkak naik.
Akan tetapi, pembatasan ekspor pupuk oleh Rusia bisa mengakibatkan gejolak pada harga beras dan produk pertanian lain di Asia, menurut Asakawa. “Dampak perang relatif terbatas bagi Asia untuk saat ini,” katanya.
(bbn)