Bloomberg Technoz, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) pada industri perbankan. Peraturan OJK tersebut tertuang dalam POJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (POJK UUS) yang dirilis akhir pekan lalu.
Upaya spin-off UUS sejatinya telah didorong sejak 2008. Sebelum adanya UU PPSK, ketentuan terkait spin-off diatur dalam Pasal 68 ayat 1 UU Perbankan Syariah. UUS diberikan waktu 15 tahun untuk memisahkan diri dari induknya ketika asetnya mencapai 50% atau lebih dari total asset induknya dan/atau 15 tahun setelah berlakunya regulasi tersebut, tepatnya pada pertengahan 2023.
Namun ketentuan tersebut tak kunjung dipenuhi oleh sejumlah bank konvensional yang diketahui saat ini memiliki unit syariah yang jumlah asetnya hampir separuh dari bisnis induknya.
Berikut adalah aset UUS yang dimiliki oleh bank konvensional berdasarkan laporan keuangan kuartal I-2023:
- Bank Danamon Rp11,329 triliun
- CIMB Niaga Rp64,231 triliun
- Bank Permata Rp34,656 triliun
- Maybank Indonesia Rp39,606 triliun
- OCBC NISP Rp9,45 triliun
- BTN Rp46,515 triliun
BTN dan CIMB Niaga adalah dua bank yang saat ini aset UUS-nya sudah memenuhi kewajiban untuk spin-off tahun ini. Namun hingga berita ini diturunkan, representasi dari kedua bank tersebut tidak kunjung memberikan tanggapan terkait rencana spin-off tahun ini.
Mengapa Tak Kunjung Spin-Off UUS?
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan aturan OJK tersebut akan secara tegas memaksa bank konvensional yang selama ini tak kunjung memisahkan unit syariahnya.
Ia mengatakan bahwa selama ini bank konvensional tidak antusias melakukan spin-off karena memang skala UUS yang dimiliki rata-rata masih kecil. Sehingga, ia menilai, akan menjadi ‘mahal’ bila mereka melakukan spin-off.
Di sisi lain, kalau sudah spin-off maka UUS berubah status menjadi bank umum syariah (BUS), yang wajib memenuhi ketentuan modal minimum layaknya bank-bank umum lainnya.
"Jadi, akan memberatkan induknya yaitu bank konvensional bila harus dituntut pemenuhan modal minimum seperti bank umum. Padahal, induknya sendiri masih banyak yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi ketentuan modal minimum untuk dirinya sendiri,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Kamis (27/7/2023).
Ia menambahkan bahwa setelah spin-off, itu berarti sistem pengelolaan termasuk teknologi menjadi terpisah dengan induknya. Bila pada saat masih sebagai UUS, mereka bisa memanfaatkan jaringan milik induknya dengan mudah, karena memang masih dalam satu sistem.
Namun setelah spin-off menjadi bank umum sendiri atau menjadi PT sendiri, otomatis kemudahan dalam pemanfaatan sistem dan jaringan tersebut tidak lagi mudah.
Senada dengan Sunarsip, Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI Paul Sutaryono menilai bank belum mau memisahkan UUS karena UUS kurang berkembang setelah dipisahkan dari perusahaan induknya.
Ia mengatakan dengan berdiri sebagai bisnis tersendiri, maka sistem akuntansi bank syariah harus langsung dipisahkan dari perusahaan induknya dan ini justru menjadi beban tersendiri bagi UUS.
“Itu semua juga karena bisnis perbankan syariah belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Lihat saja, literasi keuangan syariah masih rendah pada level 23,3% pada 2022 menurut BI. Itu berarti baru 23,3% masyarakat Indonesia yang memahami cara kerja, potensi risiko dan manfaat ekonomi syariah. Suka tidak suka itu tugas BI, OJK dan keuangan syariah untuk terus menerus melakukan sosialisasi dan edukasi keuangan syariah,” jelasnya.
(krz/evs)