Logo Bloomberg Technoz

Institusi Nasional China untuk Keuangan dan Pembangunan (NIFD), sebuah lembaga pemikir yang terkait dengan pemerintah di Beijing, memperkirakan peningkatan total utang, atau rasio leverage makro, menjadi 283,9% di kuartal kedua, menurut sebuah laporan yang dirilis pada Selasa lalu.

Namun, laporan ini menunjukkan bahwa utang rumah tangga meningkat setengahnya dari tingkat rata-rata yang terlihat selama dua dekade terakhir. Perusahaan-perusahaan tidak yakin akan prospek pertumbuhan ekonomi di masa depan sehingga mereka memasuki mode menunggu (wait and see),ungkap laporan itu.

Angka-angka ini akan menambah perdebatan mengenai apakah China sedang memasuki "resesi neraca keuangan," seperti yang dikatakan oleh Richard Koo, kepala ekonom di Nomura Research Institute. Ia mengatakan bulan lalu bahwa China terlihat pola yang mirip dengan penyebab stagnasi ekonomi Jepang di tahun 1990-an.

Teorinya adalah bahwa penurunan tajam dalam harga aset membuat sektor swasta fokus pada pengurangan leverage (penggunaan utang untuk meningkatkan keuntungan melalui investasi atau pembelian aset perusahaan) mereka dengan membayar utang, yang menurunkan konsumsi dan investasi.

Meskipun secara keseluruhan utang di China tidak menyusut, perlambatan ini berarti rumah tangga menjadi lebih peduli pada memperbaiki neraca keuangan mereka dibandingkan sebelumnya, dan perusahaan-perusahaan ragu-ragu untuk meminjam guna berekspansi, menurut NIFD.

Kontribusi Utang rumah tangga dan sektor non keuangan terhadap rasio GDP China (Bloomberg)

Tren-tren tersebut dapat memperlambat pertumbuhan PDB dan dapat dilihat sebagai bentuk resesi neraca keuangan yang "tidak lazim", kata lembaga pemikir itu. Hasil seperti ini dapat dihindari jika pemerintah China meningkatkan pinjaman dan memangkas suku bunga, kata laporan tersebut.

Selama sebagian besar dekade terakhir, para ekonom telah menandai peningkatan hutang di China sebagai sebuah tantangan bagi perekonomian. Pesan tersebut diterima oleh pemerintah sejak tahun 2017, yang memulai "kampanye deleveraging", yang memperlambat pertumbuhan utang dengan tujuan mengurangi risiko keuangan. Beijing pada tahun 2020 memulai upaya ini di sektor properti yang sangat besar.

"Saya setuju dengan kesimpulan dari laporan NIFD - bahwa Tiongkok tidak berada dalam resesi neraca keuangan, tetapi berisiko mengalami resesi karena rumah tangga dan perusahaan mengejar perbaikan neraca keuangan," kata Adam Wolfe, seorang ekonom pasar negara berkembang di Absolute Strategy Research.

"Alasan mengapa rumah tangga dan perusahaan-perusahaan berperilaku seperti ini adalah karena kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengurangi risiko-risiko sektor keuangan."

Andrew Batson, direktur riset China untuk Gavekal Dragonomics, berpendapat China mungkin sedang mengalami resesi, dan penyebab utama dari resesi tersebut adalah menyusutnya neraca keuangan di sektor real estat.

- Dengan bantuan dari Myungshin Cho.

(bbn)

No more pages