Logo Bloomberg Technoz

Dana Pihak Ketiga yang masih melimpah di bank, per Juni masih tumbuh 5,8%, seiring dengan masih tingginya penawaran bunga simpanan di tengah kelesuan permintaan kredit dari dunia usaha, salah satunya karena bunga kredit yang masih mahal, mendorong bank pada akhirnya banyak memutar duitnya di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). 

Terlebih saat ini bunga PUAB Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) 1 bulan bahkan memberikan bunga jauh lebih tinggi dibandingkan yield SUN benchmark 10 tahun. Mengacu data Bloomberg, pada pukul 11:05, Rabu (26/7/2023), bunga JIBOR 1 bulan mencapai 6,40% pada saat yang sama yield SUN 10 tahun sebesar 6,260%. 

Pada akhirnya, dana masyarakat yang dititip di bank menjadi mubazir karena tidak disalurkan menjadi kredit sehingga tidak membawa dampak apa-apa pada sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan perbankan di Surat Utang Negara memang terus melonjak terutama sejak pandemi pecah pada 2020 silam.

Sebagai perbandingan, berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada akhir 2019 lalu posisi kepemilikan SBN oleh perbankan hanya sebesar Rp581,37 triliun atau setara 21,1% dari total SBN di pasar.

Namun, ketika pandemi pecah dan pemodal asing hengkang dari pasar keuangan domestik, nonresiden banyak melepas SBN dan perlahan peta kepemilikan surat berharga bergeser ke perbankan. 

Bank semakin rajin menumpuk duit di aset portofolio SUN ketimbang menyalurkan pinjaman ke sektor riil (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Pada 2020, kepemilikan SBN oleh bank langsung melonjak signifikan menjadi Rp1.375,57 triliun, setara dengan 35,5% dari total outstanding SBN di pasar.

Angka itu terus melonjak sampai terakhir per 21 Juli lalu di mana bank semakin gemar memarkir duit di SBN sebesar Rp1.704,20, setara 31,24% dari nilai outstanding, alih-alih menyalurkannya sebagai kredit ke sektor riil. 

Permintaan Kredit Lemah

Pemberian insentif likuiditas pada perbankan untuk mendukung penyaluran kredit kepada sektor-sektor usaha hilirisasi, perumahan, pariwisata dan UMKM, dinilai belum akan menjawab masalah mendasar, yaitu permintaan kredit dari dunia usaha yang lemah. 

Dunia usaha perlu rangsangan lebih paten agar bisa tercipta kebutuhan pembiayaan ke bank di tengah masih lesunya permintaan. Bisa dalam bentuk insentif fiskal maupun moneter. Dengan demikian, dana di perbankan tidak menumpuk sia-sia sehingga bank bisa menjalankan fungsi intermediasi serta menggerakkan sektor riil.

Penurunan bunga acuan dinilai bisa menjadi solusi yang tepat alih-alih pemberian insentif likuiditas melalui kebijakan pengurangan Giro Wajib Minimum.

"Masalah sisi permintaan kredit membutuhkan penurunan suku bunga sebagai solusi, bukan penyesuaian Giro Wajib Minimum. Menurunkan rasio cadangan atau GWM hanya akan menambah pasokan likuiditas ekstra ke sektor perbankan yang sudah dibanjiri likuiditas. Hal itu berpotensi mendorong bank menyalurkan dana ke obligasi alih-alih meminjamkannya ke sektor riil," jelas Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Terlebih berdasarkan hasil survei terbaru Bank Indonesia, kelesuan penyaluran kredit baru pada Juni diperkirakan masih akan berlanjut pada Juli ini.

Bank Indonesia memperkirakan, penyaluran kredit baru pada Juli ini melanjutkan tren perlambatan dengan SBT 73,4%, jauh di bawah SBT Juni 81,7%. "Perlambatan diperkirakan terjadi terutama untuk Kredit Modal Kerja dan kredit konsumsi lainnya," kata Bank Indonesia.

Pertumbuhan kredit perbankan semakin melambat pada Juni 2023 (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Pada Juli, untuk Kredit Modal Kerja diperkirakan melambat dari SBT 72,8% anjlok menjadi 54,7%. Sedangkan kredit konsumsi melambat jadi SBT 62,3%.

Adapun untuk Kredit Investasi dan KPR diperkirakan tumbuh lebih kencang ketimbang Juni dengan 58,6%.

Sedangkan perkiraan kebutuhan pembiayaan korporasi dalam tiga bulan ke depan yaitu hingga September nanti, hasil survei memperkirakan kebutuhan akan tetap tinggi walau tidak setinggi periode sebelumnya yaitu dari SBT 23,2% menjadi 21,7%. 

Pemakaian dana sendiri masih menjadi opsi utama sumber pembiayaan korporasi untuk tiga bulan ke depan, baru setelah itu melirik pinjaman dari bank.

"Alasan perlambatan kebutuhan pembiayaan tiga bulan yang akan datang terutama karena masih lemahnya permintaan dari mitra dagang, pesimisme akan peningkatan permintaan masyarakat, juga karena perkiraan penurunan harga komoditas yang berlanjut serta efisiensi biaya bunga. Sebagian korporasi juga melanjutkan penundaan sejumlah rencana investasi," demikian disadur dari hasil survei BI.

Bunga kredit perbankan masih mahal seiring dengan bunga acuan yang masih tinggi (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Sementara dari kalangan nasabah rumah tangga, ada peluang pertumbuhan permintaan kredit untuk jenis KPR, kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit peralatan rumah tangga.

"Pada tiga bulan mendatang, mayoritas jenis pembiayaan yang akan diajukan oleh rumah tangga adalah kredit multiguna meski dengan pertumbuhan yang melambat dibanding hasil survei pada Mei. Sedangkan kebutuhan terhadap KPR, KKB, kredit peralatan rumah tangga dan kartu kredit diprediksi meningkat pada 3 bulan mendatang," jelas Bank Indonesia dalam survei terakhir permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan yang dirilis beberapa waktu lalu. 

Beberapa insentif untuk mendorong permintaan kredit selain insentif makroprudensial sejauh ini masih dijalankan sejak pecah pandemi 2020 lalu. Misalnya, kebijakan DP 0% untuk pembelian rumah melalui KPR atau KPA diperpanjang sampai 31 Desember 2023. Kebijakan itu sempat berhasil mendorong pertumbuhan kredit pemilikan rumah selama kuartal II-2023 meski selama Juni kemarin laju KPR melambat.

(rui)

No more pages