Feby menjelaskan, meski terbit sejak 2021, permen tersebut tidak bisa diimplementasikan sesuai realitas hingga saat ini. Pemerintah menilai masih ada beberapa substansi yang perlu direvisi, khususnya terkait dengan ketentuan kapasitas dan kuota PLTS atap yang boleh dipasang.
“Di regulasi sebelumnya, konsumen bisa memasang hingga 100% dari kapasitas terpasang mereka. Namun, dalam [rencana revisi] regulasi ini, kami ubah. Kami tidak lagi membatasi kapasitas PLTS atap untuk dipasang, tetapi mengikuti kuota yang ada,” terangnya.
Adapun, penentuan kuota PLTS atap nantinya akan ditetapkan oleh pemerintah. PLN, dalam hal ini, bertugas menyampaikan kepada pemerintah berapa besaran kuota di dalam sistem, beserta kapasitasnya. Berdasarkan masukan PLN, pemerintah akan memutuskan besaran kuota.
“Jadi first in first one, yang daftar dahulu, diterbitkan izinnya terlebih dahulu. Jika selama enam bulan tidak ada eksekusi [instalasi PLTS atap] dari pemegang izin, nanti izinnya bisa dicabut. Untuk antrean, ketika kuota penuh, akan dilihat antrean pertama ketika dibuka lagi. Itu nanti yang akan pertama diproses,” terang Feby.
Perubahan Ekspor Impor
Selain persoalan kuota, Feby menjelaskan hal lain yang akan termuat di dalam revisi Permen ESDM No. 26/2021 adalah ketentuan ekspor dan impor sumber daya listrik.
“Kita ketahui kondisi PLN masih surplus [pasok listrik], tetapi ada keterbatasan infrastruktur PLN untuk menerima pembangkit-pembangkit yang bersifat intermiten, sehingga di dalam perubahan Permen No. 26/2021 ini tidak ada ekspor. Artinya, [PLTS atap akan] tetap terkoneksi dengan PLN, ketika ada ekspor tidak dihitung sebagai pengurangan tagihan rekening dari konsumen. Jadi istilahnya sedekah.”
Hal lain yang akan termuat dalam revisi aturan PLTS atap adalah penihilan biaya operasi paralel dan biaya kapasitas PLTS atap untuk pengguna dari segmen industri.
Selain itu, terdapat juga perubahan tata kelola proses pengajuan instalasi PLTS atap, yang kini ditetapkan pada Januari—Juni. Dalam aturan sebelumnya, tidak ada ketentuan mengenai pengajuan.
“Jika dalam 30 hari tidak ada respons dari PLN, itu artinya [pengajuan] sudah disetujui. Kalau selama ini konsumen menunggu karena respons kadang-kadang tidak tepat waktu, kadang-kadang lebih dahulu dibangun [PLTS atapnya], padahal perestujuan belum keluar. Nanti akan ada sanksi kalau konsumen membangun sebelum ada persetujuan,” tegas Feby.
Pemerintah pada awalnya menargetkan instalasi PLTS atap untuk segmen industri dapat mencapai 3,61 GW pada 2025. Feby tidak menampik adanya revisi aturan tersebut kemungkinan akan membuat target tersebut meleset lantaran konsumen dari segmen rumah tangga kemungkinan akan kehilangan minatnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana sebelumnya mengatakan bahwa regulasi baru soal PLTS atap sudah disepakati dengan PLN.
“Kami sudah sepakat dengan PLN, kita sudah sampai finalisasi permen [peraturan menteri] PLTS Atap. Sekarang posisinya sudah di Kemenkumham [Kementerian Hukum dan HAM] untuk dilakukan harmonisasi,” katanya pada diskusi EBTKE Conex, Rabu (12/7/2023).
Dia tidak menampik instalasi PLTS atap untuk segmen rumah tangga masih membutuhkan waktu lantaran belum ada pengukuran akurat tentang besaran kapasitas serta kurva penggunaan PLTS atap skala rumah tangga.
“Karena nanti aturannya itu tidak ada net metering sesuai dengan prinsip PLTS atap dipakai untuk sendiri. Jadi kalau produksi langsung pakai. Kalau lebih kirim PLN ya jadi pahala saja nanti tidak dihitung sebagai simpanan dan tidak bisa diambil kembali,” ujarnya.
(wdh)