Akan tetapi, tegas Arifin, cara lain yang paling realistis dan cepat dilakukan untuk mengejar target bauran energi adalah dengan memanfaatkan sumber energi surya dan angin. Terlebih, secara geografis, Indonesia merupakan negara tropis yang berlokasi di garis khatulistiwa.
“Kita juga punya banyak lahan. Pertanyaannya, ada tidak industri pendukungnya? Energi matahari ini, China sudah mengimplementasikan sejak 12 tahun lalu. Sekarang mereka menjadi negara penghasil produk-produk panel surya terbesar di dunia. Kapasitas produksi solar China 400—500 GW dengan memanfaatkan sumber daya mineral. Sebenarnya kita juga punya [bahan baku] untuk panel surya. Hanya, kita harus meng-create demand,” tuturnya.
Setop Ekspor ke Singapura
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021—2030., menurut Arifin, bauran energi surya dalam sumber daya kelistrikan nasional ditarget mencapai setidaknya 4,3 GW pada 2030.
Untuk itu, pemerintah berencana memperketat atau bahkan menyetop ekspor sumber-sumber daya mineral —seperti pasir silika— yang menjadi bahan baku pembuatan panel surya. Selama ini komoditas tersebut diekspor ke Singapura.
“Singapura sumber energinya tergantung dari impor, padahal demand-nya tinggi. Mereka sekarang pada fase sedang transisi energi, yang paling mudah dilakukan melalui tenaga surya. Namun, mereka tidak punya lahan, nanti bakal pakai punya [sumber daya dari negara] tetangga. Ini peluang kita,” terangnya.
Kebutuhan Investasi
Secara implementatif, Arifin menjelaskan sumber daya listrik dari panel surya hanya bisa dibangkitkan selama 4—5 jam saja. Dengan demikian, untuk memiliki industri pembangkit tenaga surya di dalam negeri, Indonesia saat ini membutuhkan investasi ruang penyimpanan energi surya.
“[Solar storage ini] biaya investasinya bisa 4—5 kali lipat. Ini juga tidak mudah. Namun, dari target emisi yang makin mendesak, kita harus bisa menarik potensi pasar yang ada. Misalnya, [mempercepat] adopsi motor BBM ke listrik. Tinggal sekarang bagaimana masyarakat bisa dengan mudah pasang PLTS atap untuk charging motor kendaraan.”
Arifin melanjutkan bahwa untuk mempercepat adopsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia, pemerintah juga telah menggandeng perbankan untuk menyediakan paket kredit berbunga rendah.
“Ini kegiatan ekonomi yang bebas karbon. Kita juga butuh investor untuk memasang PLTS atap itu. PLTS pada bendungan juga akan dikeluarkan aturan barunya, dari yang tadinya 5% di atas permukaan akan naik ke 15% di atas permukaan. Lalu, dari 70.000 hektare lahan potensial, itu setara dengan produksi listrik 10 GW. Itu yang bisa kita gali dan manfaatkan,” tuuturnya.
Dia berpendapat upaya penciptaan pasar panel surya tersebut akan melicinkan jalan Indonesia dalam menggaet investor industri PLTS. Saat ini, sambungnya, sudah ada beberapa pemodal dari China yang tengah menjajaki peluang investasi sektor ini di Tanah Air.
Sekadar catatan, Indonesia telah beberapa kali menggaungkan niat berburu investor rantai pasok PLTS, guna mencapai target pengembangan industri PLTS terintegrasi dengan kapasitas produksi listrik minimal 10 GW di dalam negeri.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah tengah gencar mencari peluang kerja sama dengan calon investor asing untuk membangun proyek tenaga surya terintegrasi di dalam negeri –yang bakal diluncurkan pada akhir Juli atau awal Agustus oleh Presiden Joko Widodo.
“Saya pikir akan ada pengumuman besar untuk meluncurkan industri tenaga surya terintegrasi oleh Presiden akhir bulan ini atau awal bulan depan. Kami melihat Indonesia mungkin akan menjadi yang terbesar di kawasan Asean untuk memiliki energi tenaga surya terintegrasi guna mendukung target 23% [bauran] energi terbarukan dan NZE [emisi nol] pada masa depan,” ujar Dadan, Selasa (25/7/2023).
(wdh)