Ginjal merupakan salah satu organ dalam yang paling diminati oleh banyak pihak. Bagi orang dengan penyakit ginjal kronis dan sedang menjalani terapi cuci darah (hemodialisis), transplantasi ginjal menjadi jalan keluar satu-satunya jika ingin memiliki kualitas hidup layaknya orang sehat.
Transplantasi ginjal juga memiliki keuntungan dari sisi pembiayaan jika dibandingkan dengan cuci darah. Sebagai gambaran, untuk sekali cuci darah pasien membutuhkan anggaran sebesar Rp1 juta dan harus dilakukan 2-3 kali dalam satu minggu. Jika ditotal tentu dalam satu tahun, per pasien cuci darah bisa menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah.
Sementara untuk biaya satu kali transplantasi ginjal anggaran yang saat ini ditanggung oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp420 juta.
“Seharusnya ini bisa jadi jalan keluar bagi negara. Dari kasus ini kita belajar bahwa sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga khusus donor organ, sama halnya seperti donor darah. Mau donor darah sukarela, datangnya ke PMI. Begitu juga dengan donor ginjal, ada lembaga mengaturnya," kata Tony lagi.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi IX bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan DPR Emanuel Melkiades Laka Lena menyinggung soal perlunya pemerintah segera membuat aturan turunan soal transplantasi organ yang baru diundangkan di UU Kesehatan baru.
"Undang-undang Kesehatan yang baru disahkan belum lama ini memang juga memberikan ruang untuk proses transplantasi organ yang diakui dengan sebuah mekanisme yang baik. Sehingga nanti urusan donor ginjal ataupun donor organ tubuh ini menjadi bagian yang secara kesehatan dan hukum itu bisa dilaksanakan dengan baik," kata Emanuel lewat sambungan telepon.
Menurutnya, pemerintah menargetkan soal aturan tata laksana ini paling lambat September 2023.
"Kami berharap pemerintah sudah punya cara untuk membuat regulasi yang ketat dan memperbanyak aspek yang dipertimbangkan. Sehingga donor organ tubuh dan transplantasi ginjal ini menjadi suatu proses kesehatan yang secara medis, hukum,sosial, agama, moral itu bisa dipertanggungjawabkan," lanjut Politikus Golkar tersebut.
Emanuel mengatakan, dalam penyusunan RUU Kesehatan juga dipelajari proses regulasi transplanrasi organ tubuh di Korea Selatan dan Jepang. DPR berharap implementasinya nanti juga bisa berjalan baik di Indonesia.
Sementara soal sindikat perdagangan organ kata dia harus ada deteksi dini aparat hingga penelusuran lewat media sosial (media sosial) karena sindikat juga bekerja lewat medsos. Selain itu DPR meminta agar intelijen melakukan kontak erat dengan pihak luar yakni negara-negara yang menjadi jalur kejahatan transnasional tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sesuai dengan UU Kesehatan yang baru memang akan ada Komite Transplantasi Nasional.
"Komite Transplantasi Nasional yang melakukan pengaturan tentag donor transplantasi dan itu termasuk turunan dari UU Kesehatan," kata Siti Nadia, Selasa (25/7/2023).
Dalam RUU KesehatanOmnibus Law diketahui soal transplantasi organ diatur di bagian 21 mulai dari Pasal 123 hingga Pasal 134.
Pasal 123
Dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, dan bedah plastik rekonstruksi dan estetika.
Paragraf 2
Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh
Pasal 124
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan hanya untuk tujuan kemanusiaan.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindakan pemindahan organ dan/atau jaringan tubuh dari donor kepada resipien sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dikomersialkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun.
Pasal 125
(1) Donor pada transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh terdiri atas:
a. donor hidup; dan
b. donor mati.
(2) Donor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan masih hidup atas persetujuan yang bersangkutan.
(3) Donor mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya
diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati oleh Tenaga Medis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan harus atas persetujuan keluarganya secara tertulis.
(4) Dalam hal donor mati semasa hidupnya telah menyatakan dirinya bersedia sebagai donor, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan mati tanpa persetujuan keluarganya.
Pasal 126
(1) Seseorang dinyatakan mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) apabila memenuhi:
a. kriteria diagnosis kematian klinis/konvensional atau berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi
secara permanen; atau
b. kriteria diagnosis kematian mati batang otak/mati otak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria diagnosis kematian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 128
Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 harus memperhatikan:
a. prinsip keadilan;
b. prinsip utilitas medis;
c. kecocokan organ dan/atau jaringan tubuh dengan resipien yang membutuhkan;
d. urutan prioritas berdasarkan kebutuhan medis resipien dan/atau hubungan keluarga;
e. ketepatan waktu transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh;
f. karakteristik organ dan/atau jaringan tubuh; dan
g. Kesehatan donor bagi donor hidup.
Pasal 129
Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan melalui kegiatan:
a. pendaftaran calon donor dan calon resipien;
b. pemeriksaan kelayakan calon donor dilihat dari segi tindakan, psikologis, dan sosioyuridis;
c. pemeriksaan kecocokan antara donor dan resipien organ
dan/atau jaringan tubuh; dan/atau
d. operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
Pasal 130
(1) Setiap orang berhak menjadi resipien transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
(2) Resipien transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pada kedaruratan medis dan/atau keberlangsungan hidup
(3) Penetapan kedaruratan medis dan/atau keberlangsungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Pasal 131
(1) Menteri berwenang mengelola pelayanan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
(2) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pembentukan sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional;
b. sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat sebagai donor organ dan/atau jaringan tubuh demi kepentingan kemanusiaan dan pemulihan Kesehatan;
c. pengelolaan data donor dan resipien organ dan/atau jaringan tubuh; dan
d. pendidikan dan penelitian yang menunjang kegiatan pelayanan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
(3) Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama dengan
kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah Daerah.
Pasal 132
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melaksanakan peningkatan upaya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
Pasal 133
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau resipien dapat memberikan penghargaan kepada donor
transplantasi organ
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada donor dan/atau ahli waris donor.
Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 133 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(ezr)