“Beberapa kementerian terkait —baik dari ESDM maupun Kementerian Investasi–sedang mencari mitra [...] sekarang sudah ada, tetapi saya tidak bisa umumkan. Biar nanti Presiden yang umumkan ini siapa. Intinya kita sudah diskusi sangat intens dan sudah berkunjung ke sana. Mereka [calon investor] sudah ke sini dan sudah ada lokasi yang dipilih. Nanti Presiden akan umumkan,” tambah Dadan.
Bagaimanapun, dia tidak menampik rencana pembangunan industri tenaga surya terintegrasi masih diadang sejumlah kendala, khususnya negosiasi dengan investor terkait dengan sumber energi pembangkit yang akan digunakan; apakah masih dapat menggunakan batu bara atau tidak.
“Nanti listriknya gimana, dari batu bara kah? Sekarang itu jawaban [yang harus dicari]. Bagaimana kata dunia [jika] kita produksi PLTS dari batu bara? Sekarang kita cari jalan yang terbaik dan kita berkomitmen untuk mencari cara yang paling memungkinkan.”
Dadan mengatakan investasi industri pembangkit surya terintegrasi merupakan bagian dari misi Indonesia untuk menjadi hub panel surya terbesar di Asia Tenggara. Terlebih, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar karena berada di kawasan tropis.
Belum lama ini, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) SEG Solar Inc bersama ATW Group (mitra Indonesia) akan segera membangun industri pembuatan panel surya di Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Jawa Tengah. Nilai investasinya mencapai US$500 juta.
Kepastian itu ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Prakerja Sama antara SEG Solar Inc bersama ATW Group dengan KITB di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat di Washington DC, akhir Juni.
"Penandatanganan kerja sama ini adalah sebuah bentuk upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mendorong transisi energi dan juga proses awal dalam rangka mendorong keterbukaan antara kita dengan Pemerintah Amerika Serikat," kata Bahlil.
SEG Solar melalui perusahaan joint venture-nya dengan ATW Group memperkirakan bisa menyerap tenaga kerja hingga 2.000 orang.
Ambisi Menyaingi China
Selain dengan AS, Indonesia juga tengah mengajak Jerman berinvestasi panel surya di dalam negeri, guna menimbangi dominasi China di industri pembangkit tenaga matahari itu.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana sebelumnya mengungkapkan permintaan investasi itu sudah disampaikan secara resmi saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 2022 di Schloss Elmau, Jerman.
“Waktu itu kita datang ke Jerman, datang ke dua menterinya; ‘Bisa enggak kamu transfer [teknologi] ke kita?’, baru kita bisa kontribusi untuk itu dan menyeimbangkan kekuatan tidak semuanya dunia tergantung pada panel surya China,” katanya awal Mei.
Menurut Rida, permintaan tersebut mendapatkan respons cukup baik dari Pemerintah Jerman. Sebab, dibutuhkan negara lain untuk mengimbangi dominasi China dalam industri yang teknologinya sebagian besar dikembangkan oleh Negeri Panser.
Sebagai catatan, panel surya yang diproduksi di China menggunakan teknologi dari Jerman. Adapun, China saat ini memproduksi lebih dari 80% panel surya yang dipasarkan di seluruh dunia.
Di sisi lain, beberapa material yang digunakan untuk memproduksi panel surya seperti pasir silika hingga turunan bauksit seperti alumina dan aluminium didatangkan dari Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia punya potensi besar untuk menjadi salah satu negara yang mampu mengimbangi China dalam industri panel surya.
“Kita juga tahu teknologinya dari Jerman cuma fabrikasinya di China. Namun, perlu diingat bahan bakunya ada yang datang dari Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain, Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Warsono menyebut sudah menjajaki kerja sama dengan salah satu perusahaan pengembang teknologi panel surya.
Sayangnya, Warsono enggan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai penjajakan kerjasama tersebut. Termasuk mengenai negara asal dari perusahaan yang dimaksud, apakah dari Jerman seperti yang disampaikan oleh Rida atau negara lainnya.
“Penjajakan kerja sama sudah ada lewat anak usaha PLN Indonesia Power [PIP]. Untuk nilai investasinya, berapa kapasitasnya masih dalam kajian,” katanya.
(wdh)