Logo Bloomberg Technoz

Ranking Indonesia pada 2023 itu kembali ke titik rendah seperti pada 2016. Malah pada 2007 lalu, Indonesia tercatat di rangking lebih bagus yaitu posisi 43. 

Di kawasan ASEAN, Indonesia lagi-lagi dikalahkan oleh Singapura (peringkat 1), Malaysia (31), Thailand (37), Filipina (47), lalu Vietnam (50), baru kemudian Indonesia di peringkat 63. Yang ironis, kala Indonesia anjlok 17 peringkat, negara tetangga seperti Filipina dan Malaysia mencatat kenaikan peringkat luar biasa masing-masing 13 dan 10 peringkat.

Indonesia tercatat mengalami penurunan di empat dimensi yaitu Timelines yang anjlok nilainya dari 3,7 menjadi 3,3. Lalu, Tracking dan Tracing yang turun dari 3,3 menjadi 3,0. Kemudian, International Shipments menurun dari 3,2 menjadi 3,0 serta Logistics Competence dan Quality turun menjadi 2,0 dari 3,1.

Anggaran Besar dan Utang

Penurunan peringkat kinerja logistik pada 2023 seakan menghapus capaian dalam 7 tahun terakhir ketika Indonesia kembali lagi ke posisi 63. Anjloknya kinerja logistik RI menjadi ironis mengingat selama hampir satu dasawarsa terakhir pemerintah sangat jorjoran menggenjot percepatan pembangunan infrastruktur.

Selama 10 tahun terakhir, nilai anggaran infrastruktur Indonesia melesat ratusan persen dan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah republik.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, selama satu dasawarsa terakhir yaitu periode 2014-2023, anggaran infrastruktur mencapai Rp3.355,8 triliun. Naik 306,9% dibandingkan 10 tahun era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sebesar Rp824,8 triliun.

Kenaikan anggaran yang luar biasa sebagian besar dibiayai dengan utang. Tercatat, selama periode 2015-2022 saja, nilai utang untuk membiayai anggaran infrastruktur mencapai Rp 2.768,99 triliun.

Ambisi membangun infrastruktur itu juga menyeret pula kesehatan keuangan BUMN-BUMN yang bergerak di sektor konstruksi, biasa disebut BUMN karya. Seperti diketahui, pembangunan infrastruktur terutama jalan tol, banyak digawangi oleh BUMN karya sebagai bagian dari penugasan negara.

Beberapa BUMN karya di antaranya adalah PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Empat BUMN itu mencatat lonjakan nilai utang hingga 12 kali lipat menjadi sekitar Rp130 triliun, sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada Oktober 2014.

Biaya Logistik Belum Merata

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Presiden Joko Widodo. (Dok. IG Luhut B Panjaitan)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan keberatan dengan laporan Bank Dunia atau World Bank terkait dengan kinerja logistik Indonesia yang anjlok drastis.

Luhut menyebut akan memanggil perwakilan Bank Dunia untuk membahas detailnya. Dia mempertanyakan penilaian Bank Dunia ihwal aspek-aspek yang menjadi kelemahan Indonesia sehingga kinerja logistik nasional dinilai tidak baik.

"Saya akan undang nanti World Bank. Saya mau tanya, di mana letak kesalahan kita, kelemahan kita, saya tidak tahu. Mau kita perbaiki. Jangan dibilang hanya kita tiba-tiba turun peringkat dari 46 jadi 63," kata Luhut.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengomentari, kinerja logistik Indonesia masih kalah bersaing dengan negara lain karena biaya logistik masih mahal.

"Logistic index, performance index kita serta dari sisi cost of logistic Indonesia masih kalah kompetitif dibanding negara ASEAN atau negara berkembang lain," kata Sri Mulyani.

Pemerintah menciptakan sistem logistik yang kompetitif bukan perkara mudah terutama bagi Indonesia yang kondisi geografisnya berbentuk kepulauan. Sulit dibandingkan dengan Singapura yang hanya wilayah kecil seluas provinsi DKI Jakarta.

Pembangunan infrastruktur yang massif salah satunya ditujukan agar sistem logistik nasional bisa dibenahi. Namun, nyatanya pemerataan belum berjalan.

Hal itu tecermin dari masih tingginya biaya logistik di kawasan luar Jawa dibanding Jawa. Untuk Sumatra misalnya biayanya sekitar 20%, sedangan Kaimantan dan pulau lain bahkan menembus 30%. Sementara Jakarta sekitar 12%.

Perlu Evaluasi Total

Pemerintah perlu melakukan evaluasi secara total kebijakan infrastruktur terutama untuk infrastruktur tol.

"Perlu dipertimbangkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih efektif dan berfokus pada pengembangan infrastruktur yang mampu mendukung peningkatan akselerasi logistik dan mengurangi ongkos logistik, bukan malah asik membangun tol berbayar," kata Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute.

Kedua, pemerintah perlu menggeser prioritas pengembangan infrastruktur logistik seperti pelabuhan, bandara, dan jaringan transportasi lain yang bisa membantu memperlancar distribusi barang dan menekan biaya logistik.

Ketiga, diversifikasi sumber pembiayaan. "Mengandalkan utang untuk pembangunan infrastruktur berisiko meningkatkan beban negara sementara manfaat yang dihasilkan belum tentu sebanding," jelas Achmad.

Keempat, peningkatan kompetensi SDM dan teknologi serta lebih banyak menggandeng swasta untik berkolaborasi.

"Tidak seperti saat ini, sektor swasta ditinggal dan BUMN dijadikan andalan untuk proyek-proyek yang ternyata BUMN hari ini neraca keuangannya berwarna merah," kata pengamat.

--Dengan bantuan laporan Sultan Ibnu Affan dan Elisa Valenta.

(rui)

No more pages