Bloomberg Technoz, Jakarta - Berbagai 'prestasi' yang berhasil ditorehkan oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo terancam buram oleh potret ketimpangan ekonomi yang semakin parah di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Era media sosial semakin memudahkan mata awam dalam melihat festival ketimpangan. Beberapa pekan lalu, publik dihebohkan oleh kasus bunuh diri seorang kepala keluarga akibat terdesak utang biaya menikahkan sang anak.
Publik dibuat semakin terbelalak ketika pada saat yang sama, pecah kabar pernikahan dua ekor anjing yang dirayakan begitu meriah menghabiskan biaya ratusan juta rupiah.
Keadilan sosial menjadi salah satu nilai dasar yang menjadi landasan pembentukan kelahiran Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Itu termaktub baik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Namun, mimpi keadilan sosial seperti semakin jauh membentur realita. Pembangunan Indonesia yang gempita masih belum mampu mengantarkan pemerataan. Sebaliknya, ketimpangan semakin menjadi-jadi.
"Ketimpangan tidak selesai di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan dan bahkan kepincangan cukup besar dalam satu sampai dua dekade terakhir," kata Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini, dalam acara diskusi akhir pekan lalu.
Potret ketimpangan selama ini hanya terbatas dibaca dari tingkat pengeluaran masyarakat. Badan Pusat Statistik merilis Rasio Gini secara rutin, tapi menurut Didik data itu sulit memberi gambaran kondisi riil di lapangan. Akhirnya, berulang kali pengambil kebijakan gagal meramu kebijakan yang bisa memicu pemerataan kue ekonomi ke seluruh lapisan masyarakat.
Data aset dan pendapatan bisa menjadi cerminan betapa wajah ketimpangan di Indonesia semakin parah.
"Bila melihat distribusi aset tanah atau deposito juga tabungan, maka kesenjangan terlihat sangat tinggi," kata Didik.
"Di negara Amerika Latin, jika ketimpangan tanah sudah di atas 0,5, maka yang terjadi adalah revolusi karena orang sudah marah [melihat] penumpukan harta yang tidak wajar."
Ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia saat ini sudah di angka 0,6-0,7. Artinya, hanya 1% masyarakat yang menguasai 60%-70% tanah di Indonesia.
Para petani di Indonesia juga semakin terdesak dengan kepemilikan lahan yang kian sempit.
"Kelompok petani lokal hanya memiliki 0,2 hektar kepemilikan lahan. Angka itu 10 kali lebih rendah dibanding kepemilikan lahan para petani di Jepang yang mencapai 2 hektar. Apalagi dibandingkan petani di Amerika yang mencatat kepemilikan lahan sampai 106,9 ha per petani. Bahkan di Inggris, kaum tani masih menguasai 3.068,4 hektar lahan per petani," kata Bustanul Arifin, Profesor Ekonomi Agrikultur Universitas Lampung.
Bagaimana dengan aset simpanan? Mengacu pada data distribusi simpanan yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan, dari total dana senilai Rp8.050 triliun di sistem perbankan nasional, sebanyak 52,6% atau setara Rp4.232 triliun dimiliki oleh hanya 128.912 rekening nasabah. Dengan kata lain, separuh duit di sistem perbankan Indonesia dikuasai oleh 0,02% nasabah.
Sedangkan rekening 'receh' dengan nilai saldo di bawah Rp100 juta total nilai tersimpan di bank mencapai Rp1.007 triliun setara 12,5% dari total simpanan. Angka itu dibagi oleh sekitar 500,95 juta rekening nasabah atau 98,7% dari total rekening nasabah di bank.
Pandemi Covid-19 yang telah menjatuhkan banyak rumah tangga dalam kemiskinan akibat gelombang pemutusan hubungan kerja dan pelemahan aktivitas bisnis, pada kenyataannya mengantarkan lebih banyak 'orang kaya' dengan aset jumbo di bank.
Pada Maret 2020, nilai dana di rekening bersaldo di atas Rp5 miliar adalah sebesar Rp3.064 triliun. Sementara rekening kecil bersaldo di bawah Rp100 juta mencapai total Rp856,86 triliun. Tiga tahun berlalu seiring masuknya dunia ke fase endemi Covid-19, total nilai rekening bersaldo jumbo melesat 38,1% atau bertambah Rp1.168 triliun menjadi Rp4.232 triliun.
Pada saat yang sama, nilai simpanan rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, naik 16,7% atau setengahnya.
Penyebab Ketimpangan
Penyebab ketimpangan di Indonesia, menurut analisis ekonom, antara lain karena karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas.
"Ada dominasi sektor non-tradable terutama [sektor] jasa yang tidak dapat dijangkau oleh lapisan bawah dibanding sektor pertanian dan manufaktur," kata Bustanul.
Selain itu, pemerataan kepemilikan lahan dan aset yang memburuk dengan persentase petani berlahan sempit meningkat setiap tahun. Begitu juga akses terhadap faktor produksi dan sumber daya yang terbatas, infrastruktur ekonomi dan sumber daya produksi yang buruk, juga kebijakan pemerintah yang tidak efektif mulai dari subsidi pangan, subsidi pendidikan dan lain sebagainya.
"Esensinya menjadi terletak pada capital income dan labor income yang memang tidak 'nyambung', itulah ketimpangan," kata Bustanul.
Pembangunan lapangan kerja berkualitas juga semakin terseok dari tahun ke tahun. Proporsi pekerjaan informal semakin mendominasi ketimbang pekerjaan formal dengan dominasi pekerja berpendidikan rendah yang semakin besar.
Proporsi sektor informal yang lebih besar dapat mempengaruhi prospek kekuatan daya beli masyarakat dan pada akhirnya berimbas pada kinerja konsumsi masyarakat yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi prospek penerimaan pajak negara juga bisa terpengaruh.
Ini karena sektor informal memiliki tingkat upah serta perlindungan kesejahteraan yang relatif lebih rendah dibanding sektor formal. Perlindungan kesejahteraan juga cenderung lebih rendah.
Di sisi lain, angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan pendidikan dasar juga bisa mempengaruhi prospek pendapatan mengingat upah pekerja lulusan sekolah dasar dihargai lebih rendah dengan jenis pekerjaan kasar.