Logo Bloomberg Technoz

Tingkat imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) melebar ketika SUN tenor pendek mencatat kinerja melampaui INDOGB tenor panjang dengan prediksi BI baru akan memulai pemangkasan bunga acuan di akhir 2023, menurut perkiraan analis. 

Imbal hasil SUN tenor 10 tahun pagi ini sedikit turun ke kisaran 6,24% dengan tenor lebih pendek 2 tahun menguat ke level 6,037%. Animo para pemodal asing terhadap aset-aset di pasar keuangan domestik baik itu surat utang maupun saham masih terus tinggi. Bank Indonesia melaporkan, selama periode hari bursa 17-20 Juli, pemodal nonresiden mencatatkan beli bersih di pasar surat utang negara sebesar Rp2,56 triliun dan beli bersih di pasar saham sebesar Rp2,11 triliun.

Rupiah Halangi Pelonggaran Moneter

Indonesia memperlihatkan gejala pertumbuhan yang lebih lemah bila mengacu pada beberapa indikator seperti kinerja penjualan ritel juga pertumbuhan kredit perbankan yang melambat. Setoran pajak yang mencatat penurunan pada lima bulan pertama 2023 juga melontarkan sinyal pelemahan aktivitas perekonomian, sesuatu yang sudah diprediksi oleh pemerintah dan mayoritas ekonom. 

Kinerja ekspor juga melanjutkan tren pelemahan disusul anjloknya impor barang konsumsi memberi kecemasan tentang melemahnya laju konsumsi masyarakat Indonesia dengan fenomena kaum berduit cenderung masih menahan belanja dan menempatkan dana di instumen investasi yang likuid. 

Terlihat dari larisnya penawaran obligasi ritel ORI023 hampir Rp30 triliun dan kenaikan nilai simpanan di perbankan terutama untuk rekening bersaldo di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar.

Akan tetapi, berbagai gejala perlambatan yang semakin kentara itu kemungkinan memang belum akan memberi kepercayaan diri bagi Bank Indonesia untuk memulai siklus pengguntingan bunga acuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Ketidakpastian eksternal masih cukup tinggi dan rentan menggoyang stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sejak awal Juli, berdasarkan data Bloomberg, nilai rupiah bergerak di kisaran Rp15.040/US$ dengan level terlemah terjadi pada 10 Juli lalu di posisi Rp15.195/US$. 

Pergerakan selama Juli (month-to-date) itu lebih lemah dibandingkan tren rupiah selama Juni di mana rata-rata harga rupiah cenderung lebih kuat di kisaran Rp14.926/US$. Begitu juga dibandingkan Mei ketika nilai rupiah menghadapi dolar AS masih lebih kuat di kisaran Rp14.824/US$.

Padahal Mei-Juni dari sisi siklus historis memang menjadi bulan penuh tekanan bagi nilai rupiah sejurus dengan memuncaknya permintaan valas di pasar domestik.

Juli seharusnya permintaan valas tidak lagi setinggi dua bulan sebelumnya. Akan tetapi, rupiah tetap tidak mampu membalik cerita menyusul tingginya tekanan eksternal yang berepisentrum pada arah bunga acuan the Fed dan suramnya perkembangan pemulihan ekonomi China.

Dengan lanskap yang masih rapuh untuk memastikan rupiah bertahan, BI diperkirakan cenderung mengesampingkan tekanan penurunan bunga acuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tahun politik. 

BI memilih bersikap defensif dengan mempertahankan bunga acuan sembari berhati-hati menanggapi potensi kenaikan bunga acuan global di sisa tahun ini dengan mengandalkan amunisi utama yaitu intervensi langsung ke pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Meski itu akan menguras nilai cadangan devisa lebih jauh.

"Kami lebih fokus pada obat yang langsung bisa menjaga stabilitas nilai tukar yaitu dengan meningkatkan intensitas intervensi. Sehingga wajar bila nilai cadangan devisa yang bulan sebelumnya di atas US$ 144,5 miliar, turun jadi US$ 139 miliar. Kami gunakan [cadangan devisa] untuk menjaga rupiah. Cadangan devisa yang kami kumpulkan ketika terjadi aliran modal masuk [inflow] besar, kami gunakan saat ada outflow," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI Juni lalu.

(rui/aji)

No more pages