Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ada 94 kasus kebocoran data pribadi masyarakat yang terjadi sejak 2019. Seluruh kasus ini terjadi pada penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang berbeda baik pemerintah dan swasta.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo, Semuel Pangerapan tak menampik beberapa di antaranya adalah kasus kebocoran data yang ramai dibicarakan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah kasus kebocoran data aplikasi PeduliLindungi, data nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI), dan peretasan BFI Finance.
Menurut dia, Kominfo bisa mendeteksi dugaan kebocoran data dari laporan perusahaan atau dari masyarakat. Seharusnya, kata dia, perusahaan atau pengelola platform yang lebih aktif melaporkan diri ke pemerintah saat muncul gejala peretasan.
Terakhir adalah dugaan pembobolan data pribadi warga negara Indonesia di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Hal ini merujuk pada sejumlah unggahan data pada sebuah forum di internet yang kerap menjadi lapak jual beli data curian para peretas.
Pada forum tersebut, hacker dengan kode 'RRR' mengunggah sejumlah data yang diduga milik masyarakat Indonesia. RRR adalah peretas yang diduga mencuri dan menjual data 337 juta nomor induk kependudukan (NIK) dari Kemendagri.
"Seperti 1.3 trilyun data registrasi Sim Card," kata Pratama yang juga menjabat sebagai Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC.
Selain itu, menurut Pratama ada unggahan yang diklaim berisi 36 juta data kendaraan bermotor; 272 juta data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS); 2 juta data foto BPJS, 34 juta data passpor; dan 6,9 juta data Visa. Peretas RRR juga mengklaim punya 186 data milik Komisi Pemilihan Umum; 1 triliun data milik Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; serta 6,8 juta data pemilih tetap (DPT) di Provinsi DKI Jakarta.
Sebelumnya, ada dugaan bobolnya data 34,9 juta data paspor WNI oleh peretas dan diperjualbelikan di internet.
Data dengan ukuran 4 gigabyte dalam format CSV atau comma separated values tersebut berisi nama, jenis kelamin, tanggal lahir, nomor, tanggal berlaku, dan sejumlah data pribadi lain dari pemilik parpor. Berdasarkan informasi yang beredar, data tersebut hanya dibanrol US$10 ribu atau setara Rp150 juta.
Padahal, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyimpan seluruh data paspor pada Pusat Data Nasional (PDN) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
(rui)