Ini karena sektor informal memiliki tingkat upah serta perlindungan kesejahteraan yang relatif lebih rendah dibanding sektor formal. Perlindungan kesejahteraan juga cenderung lebih rendah. Di sisi lain, angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan pendidikan dasar juga bisa mempengaruhi prospek pendapatan mengingat upah pekerja lulusan sekolah dasar dihargai lebih rendah dengan jenis pekerjaan kasar.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik yang dirilis 7 Juli lalu, proporsi lapangan kerja formal dibandingkan informal mencapai 39,88% versus 60,12%. Lima tahun silam, pada 2018, komposisinya masih sebesar 43,16% angkatan kerja berkiprah di pekerjaan formal sedangkan di sektor informal mencapai 56,84%.
Pada saat yang sama, angkatan kerja juga masih didominasi oleh pekerja lulusan sekolah dasar dengan tren yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, persentasenya mencapai 54,87% dari total angkatan kerja dengan sebanyak 0,5% tercatat sebagai angkatan kerja usia muda yang tercatat tidak pernah sekolah.
Angkanya makin meningkat seperti tecermin dalam data terakhir per Februari 2023 yang dirilis oleh BPS dua pekan lalu. Persentase angkatan kerja yang hanya mencatat pendidikan akhir sekolah dasar mencapai 55,22% ditambah hampir 1% terindikasi sebagai pekerja yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah.
Jumlah setengah pengangguran, yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu juga terus meningkat. Pada 2023, angkanya mencapai 9,59 juta orang, dibandingkan 8,21 juta orang pada 2018 lalu.
Sementara tingkat pengangguran di penduduk usia muda pada 2023 ini mencapai 16,46%, yang berarti dari 100 penduduk berusia 15-24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 16 orang yang menganggur. Tingkat pengangguran anak muda di Indonesia mencapai lima kali lipat tingkat pengangguran terbuka kelompok usia dewasa.
Angka itu memperlihatkan perbaikan dibanding 2018 lalu ketika tingkat pengangguran usia muda mencapai 19,68% dengan rasio penganggur usia muda terhadap usia dewasa mencapai 7,48%.
Ancaman AI
Hampir seperempat pekerjaan akan hilang setidaknya dalam lima tahun ke depan. Ini merupakan dampak dari teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), digitalisasi, dan perkembangan ekonomi lainnya seperti transisi energi.
Forum Ekonomi Dunia (World Economy Forum/WEF) di Jenewa awal Mei lalu melansir laporan tentang beberapa jenis pekerjaan yang diperkirakan akan tumbuh pesat di masa mendatang ketika beberapa jenis pekerjaan lain menurun. Beberapa pekerjaan yang akan tumbuh pesat di antaranya, spesialis AI dan otomatisasi (machine learning), spesialis bisnis berkelanjutan (sustainability), analis intelijen bisnis (business intelligence), analisis keamanan informasi, insinyur teknologi keuangan (fintech), analis dan ilmuwan data, ansinyur robot, Insinyur elektroteknologi, operator peralatan pertanian dan spesialis transformasi digital.
Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang diperkirakan akan berkurang pesat antara lain: teller bank dan pekerjaan terkait lainnya, petugas pelayanan kantor pos, petugas kasir dan tiket, petugas entri data, sekretaris administrasi dan eksekutif, petugas penyimpanan stok dan pencatatan bahan baku, petugas akuntansi, pembukuan, dan penggajian, legislator dan pejabat, petugas statistik, keuangan, dan asuransi, sales pintu ke pintu, penjual koran dan kios di jalan, dan pekerjaan terkait lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut untuk menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan banyak SDM untuk pekerjaan-pekerjaan seperti Apps and System Developer, Data Scientist, Cloud Solution, Heavy Truck Driver, Agriculture & Plantation Manager, hingga Bio-scientist. Namun, profesi tersebut hingga kini masih belum terpenuhi.
Saran Bank Dunia
Untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045, Indonesia perlu menciptakan lebih banyak “pekerjaan kelas menengah” demi mengakomodasi jumlah tenaga kerjanya yang terus bertambah, menurut Bank Dunia.
Dalam laporan 'Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia,' yang pernah diluncurkan pada 2022 lalu, Bank Dunia menyebut pekerjaan kelas menengah adalah pekerjaan berkualitas tinggi yang memungkinkan rata-rata keluarga Indonesia memiliki kehidupan kelas menengah.
Laporan Bank Dunia tersebut merekomendasikan tiga reformasi kebijakan bagi Indonesia untuk menciptakan pekerjaan kelas menengah.
Pertama, adalah Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan produktivitas secara menyeluruh melalui penerapan kebijakan yang efektif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membuka pintu masuk dan pertumbuhan perusahaan baru untuk menciptakan persaingan dan inovasi.
Kedua, Bank Dunia merekomendasikan strategi promosi investasi langsung pada sektor-sektor yang berpeluang menciptakan lapangan kerja kelas menengah, seperti sektor manufaktur.
"Dukungan pelengkap, termasuk sistem informasi pasar tenaga kerja dan asuransi pengangguran untuk membiayai pencarian kerja dan relokasi, selanjutnya dapat membantu transisi pekerja menuju pekerjaan kelas menengah," ujar Bank Dunia dikutip dari laporannya.
Ketiga, adalah memfasilitasi pembelajaran dan pelatihan di seluruh angkatan kerja dan memberikan dukungan yang disesuaikan untuk kelompok khusus, khususnya perempuan dan pemuda. Perubahan legislatif juga diperlukan untuk memungkinkan keseimbangan kehidupan kerja dan mendukung peningkatan partisipasi dan keberhasilan perempuan di pasar tenaga kerja.
-- dengan bantuan laporan Elisa Valenta.
(rui)