Di mana posisi Indonesia saat ini dalam isu-isu tersebut?
Kemiskinan
Tahun 2024 adalah tahun terakhir Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun, beberapa target yang dicantumkan dalam RPJMN terancam gagal diwujudkan. Padahal pencapaian RPJMN tahun ini sangat penting karena menjadi salah satu titik tolak mengantar RI mewujudkan Visi 2045.
Beberapa target penting yang kemungkinan gagal dicapai di antaranya adalah pengurangan kemiskinan dan peghapusan kemiskinan ekstrem, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan juga penguatan daya saing usaha.
Mengacu pada data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, persentase kemiskinan di Indonesia sampai Maret 2023 lalu mencapai 9,36% atau sekitar 25,9 juta jiwa. Angka itu memang menurun dibandingkan September 2022 sebanyak 0,46 juta orang. Akan tetapi, angka kemiskinan di Indonesia saat ini masih lebih buruk dibandingkan masa sebelum pandemi Covid-19.
Indonesia memakai ukuran Garis Kemiskinan (GK) pada Maret 2023 di angka Rp525.050/kapita/bulan. Garis Kemiskinan mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup selama sebulan baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. Penduduk dengan pengeluaran di bawah itu termasuk kelompok miskin.
Dalam 10 tahun terakhir, sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dimulai pada 2014, angka kemiskinan di Indonesia hanya turun sedikit yaitu dari sebanyak 10,96% atau 27,72 juta jiwa pada September 2014, menjadi 25,9 juta jiwa.
Baca juga: Rapor Ekonomi Jokowi vs SBY: Siapa Lebih Bagus?
Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan selama 10 tahun terakhir juga terlihat semakin buruk di mana angkanya meningkat dari 0,31 pada September 2014 menjadi 0,38 pada Maret 2023. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Sementara Indeks Kedalaman Kemiskinan cukup menunjukkan perbaikan dengan kenaikan indeks dari 1,25 pada September 2014 menjadi 1,53 pada Maret lalu. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di mana semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Bahkan, angka kemiskinan Indonesia sangat mungkin jauh lebih besar apabila memakai ukuran tingkat kemiskinan global yang saat ini berlaku, utamanya bila bicara tentang kemiskinan ekstrem.
Sebagaimana diketahui, sejauh ini pemerintah memakai basis perhitungan kemiskinan ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Angka itu setara Rp28.482 dengan asumsi kurs JISDOR Bank Indonesia per 21 Juli sebesar Rp14.991/US$.
Sedangkan menurut standar global, ukuran kemiskinan ekstrem adalah US$ 2,15 PPP per hari atau Rp31.981. Pemerintah sendiri mengakui bila ukuran mengacu pada standar global, angka kemiskinan ekstrem bisa melonjak hingga 2 juta. "Begitu angkanya naik ke US$ 2,15, maka kemiskinan ekstrem naik jadi 6,7 juta," kata Suharso Monoarfa, Menteri PPN dan Kepala Bappenas.
Ketimpangan
Angka kemiskinan di Indonesia mungkin mulai berkurang meskipun belum mampu diturunkan kembali ke level sebelum pandemi Covid-19. Indonesia bahkan berhasil merangsek lagi ke jajaran negara berpenghasilan menengah atas dengan capaian Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.580, menurut ukuran Bank Dunia. Namun, di balik capaian itu masih ada fakta pahit yang mencolok. Yakni, ketimpangan ekonomi sosial yang semakin lebar.
Di media sosial hari-hari ini, wajah ketimpangan itu semakin sulit diingkari. Kabar tentang kaum berduit menggelar pernikahan anjing, hewan berkaki empat, yang menghabiskan biaya hingga Rp200 juta viral di tengah terjadinya kasus bunuh diri orang miskin yang terjerat utang biaya menikahkan anak, juga membludaknya jumlah orang yang terjerat masalah pinjaman online.
BPS mencatat, pada 2014 silam, Rasio Gini yang mengukur ketimpangan kekayaan masyarakat adalah sebesar 0,414. Pada 2019, angka itu berhasil ditekan ke level 0,380. Akan tetapi pada Maret 2023, ketimpangan di Indonesia terlihat semakin parah dengan Rasio Gini 0,388, di mana angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan ketika pandemi Covid-19 tengah hebat-hebatnya dan menjatuhkan banyak rumah tangga dalam kemiskinan. Sebagai gambaran, pada 2020 dan 2021, Rasio Gini Indonesia adalah sebesar 0,385 dan 0,381.
Nilai gini ratio berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai gini ratio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
Ketimpangan pendapatan yang semakin lebar memberi tekanan pada pemerintah untuk semakin serius merancang kebijakan pembangunan yang pro-pemerataan ke semua kelas sosial ekonomi.
Baca juga: Dikecam Nakes dan Elemen Masyarakat Sipil, UU Omnibus Kesehatan untuk Siapa?
Indonesia diberkahi dengan sumber daya alam melimpah dan mengantarkan banyak sekali korporasi juga konglomerasi terutama di sektor tambang ketiban rezeki runtuh kenaikan harga komoditas pada 2022 lalu.
Akan tetapi, 'tetesan' rezeki komoditas itu agaknya tidak merata sehingga pada 2022 pun angka kemiskinan justru naik menjadi 26,4 juta dari sebesar 26,5 juta pada tahun sebelumnya. Selain itu di tengah booming harga komoditas yang berhasil menggelembungkan nilai kekayaan sebagian kecil masyarakat, wajah ketimpangan di negeri ini semakin buruk dengan Rasio Gini pada 2022 mencapai 0,381.
Indeks Korupsi
Mengacu pada data Transparency International, Indonesia mencatat skor Corruption Perception Index (CPI) atau disebut juga Indeks Persepsi Korupsi (IPK), di angka 20 pada 2004 silam dengan peringkat global di 132.
Sebelum pemerintahan Jokowi menjabat pada 2013, skor IPK membaik dengan peningkatan menjadi 32, sedangkan peringkat global ke posisi 118 pada 2013.
Baca juga: Pertaruhan Jokowi Mengorbankan Demokrasi Demi Investasi
Namun, selama periode 2014-2022 di masa Jokowi, IPK Indonesia stagnan bahkan cenderung memburuk. Pada 2014, IPK Indonesia masih di 34, lalu sempat membaik pada 2019 dengan capaian nilai 40 dan peringkat global 96.
Lalu pada 2022 skornya merosot lagi menjadi 34, kembali ke titik mula dengan peringkat korupsi Indonesia merosot lagi ke posisi 110 dunia.
Penurunan IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk pada periode tersebut. Skor indeks diukur dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), sehingga semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara maka semakin rendah korupsi terjadi di negeri itu.
(rui)