Di samping ihwal perubahan pos tarif, pembaruan lainnya mencakup penyesuaian kriteria teknis atas barang dilarang dan diatur ekspor pada produk pertambangan berupa timah.
“Selain itu, terdapat perpanjangan relaksasi ekspor luas penampang produk industri kehutanan/kayu serta relaksasi waktu ekspor beberapa konsentrat produk pertambangan,” terangnya.
Syarat perizinan berusaha untuk beberapa kelompok komoditas juga direvisi, berikut penambahan kolom penjelasan uraian barang pada beberapa komoditas, serta pemisahan kelompok barangnya.
Permendag No. 23/2022 juga mengharuskan eksportir untuk mengantongi Surat Pernyataan Mandiri sebagai penambahan informasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penyesuaian lainnya mencakup beberapa produk pertambangan mineral logam menjadi nonlogam. Menurut Mardyana, penyesuaian tersebut sudah didasari oleh masukan dari pelaku usaha maupun kementerian dan lembaga teknis terkait, sehingga lebih implementatif.
Konsentrat Mineral Logam
Khusus untuk kelompok konsentrat mineral logam, mengutip Pasal 6 Permendag No. 22/2023, barang yang dilarang untuk diekspor bidang pertambangan mencakup konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) dengan kadar ≥ 50% Fe dan ≥ 10%; konsentrat tembaga dengan kadar ≥ 15% Cu; konsentrat timbal dengan kadar ≥ 56% Pb; konsentrat seng dengan kadar ≥ 51% Zn; dan umpur anoda.
Larangan ekspor tersebut mulai berlaku per 1 Juni 2024, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Dengan kata lain, untuk saat ini perusahaan di sektor-sektor tersebut masih diizinkan ekspor dengan persyaratan tahapan pembangunan smelter dan bea keluar yang baru saja diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/2023 tentang Perubahan PMK No. 39/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Meski payung regulasi mengenai ekspor konsentrat mineral telah diterbitkan, pengusaha sektor pertambangan mineral —khususnya tembaga— mengeklaim masih belum mengantongi surat persetujuan ekspor (SPE) dari Kemendag sebagai tindak lanjutnya.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas mengonfirmasi bahwa tertahannya penerbitan SPE konsentrat tembaga, yang memicu gangguan operasional perusahaan di wilayah tambang Grasberg, Mimika, Papua.
“Kami berharap sesegera mungkin. [Permohonan ekspor] sudah kami ajukan, sedang berproses di pemerintahan. [...] Kami menunggu persetujuan ekspor dari Kementerian Perdagangan,” ujarnya saat dijumpai, Kamis (20/7/2023) malam.
Tony mengaku hingga saat ini tidak kunjung ada kepastian kapan otoritas perdagangan akan menerbitkan izin ekspor konsentrat tembaga bagi PTFI, padahal tahun ini perusahaan sudah diberi jatah ekspor sebanyak 2,3 juta ton atau naik dari realisasi tahun lalu sebanyak 2 juta ton.
“Saya berharap kalau bisa minggu ini sudah ekspor. Enggak [bisa] jualan kita. [Stok konsentrat di] gudang banyak lah [menumpuk]. Saya belum bisa kasih angka-angkanya, tetapi yang pasti, dihitung saja, sebulan kita enggak [bisa produksi akibat stok menumpuk],” jelasnya.
Pada Selasa (11/7/2023), Tony diketahui bertandang ke kantor Kemendag untuk menemui Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan secara langsung. Saat dimintai konfirmasi terkait dengan negosiasi izin ekspor, baik perwakilan PTFI maupun Kemendag menolak berkomentar.
Namun, dikutip dari laman resmi Kemendag, pertemuan tersebut dikatakan “membahas mengenai pengaturan tata niaga ekspor produk pertambangan hasil pengolahan mineral logam.”
Sekadar catatan, Freeport menargetkan produksi konsentrat tembaga pada 2023 mencapai 1.603 miliar pound, emas 1.809 juta ons, sedangkan perak sebesar 6.579 juta ons.
(wdh)