Di pasar derivatif Non-Deliverable Forward, pairing USD/IDR kontrak 1 pekan dan 1 bulan diperdagangkan di kisaran Rp15.000-an, memberi sinyal tekanan kemungkinan juga akan merambati nilai tukar rupiah di pasar spot di hari terakhir perdagangan pekan ini.
Pada penutupan perdagangan Kamis kemarin, pairing USD/IDR kehilangan 7 bps dan membawa rupiah menguat tipis ke level Rp14.988/US$.
Dari kacamata analisis teknikal, nilai rupiah hari ini sebenarnya berpotensi melanjutkan penguatan dengan target terdekat menuju area level Rp14.958/US$. Bila rupiah berhasil break resistance tersebut, maka penguatan bisa berlanjut ke kisaran Rp14.918/US$ sebagai level optimis rupiah pada MA-50.
Sebaliknya bila sentimen untuk rupiah tidak berpihak dan terjadi pembalikan arah, cermati support terdekat pada level Rp15.017/US$ pada MA-100 dan support selanjutnya pada level Rp15.115/US$.
Sinyal bunga acuan BI7DRR
Animo pemodal asing masih tetap tinggi di Indonesia menyusul data inflasi global yang terlihat mulai jinak. Dalam sepekan terakhir, nilai arus modal global yang masuk ke pasar domestik mencapai US$527,4 juta baik di pasar surat utang maupun saham.
Akan tetapi, arus modal asing yang deras tidak serta merta menurunkan secara signifikan tingkat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) tenor dua tahun yang sensitif terhadap arah kebijakan moneter dan tenor 10 tahun. Masing-masing tingkat imbal hasil dua tenor itu masih tertahan di level 5,979% dan 6,188% pada penutupan perdagangan kemarin.
Masih tertahannya level yield SUN ditengarai akibat masih adanya ketidaksesuaiannya dengan bunga perbankan. "Suku bunga JIBOR [Jakarta Interbank Offered Rate] tenor 1 pekan maupun 1 bulan yang berperan sebagai batas bawah yield SUN-2 tahun dan 10 tahun, tertahan masing-masing di level 6% dan 6,4%. Rasa frustrasi para pemodal asing menimbulkan teori apakah yield INDOGB 10 tahun bisa turun lebih rendah daripada bunga acuan BI7DRR saat ini di level 5,75%," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, Kamis (20/7/2023).
Tingkat bunga acuan BI7DRR saat ini di level 5,75%, menurut analis, tidak sesuai dengan kondisi inflasi domestik yang sudah melandai di angka 3,5% dengan potensi penurunan lebih lanjut ke depan ke kisaran 2,6% pada akhir tahun ini. "Frustrasi pemodal asing bisa diatasi dengan Bank Indonesia memulai siklus pemangkasan bunga acuan supaya lebih selaras dengan tingkat inflasi," jelasnya.
Dengan dimulainya pemangkasan bunga acuan, animo pemodal di pasar SUN akan lebih kencang dan menurunkan level imbal hasil lebih rendah lagi.
Terlalu cepat bila dipangkas
Bank Indonesia akan menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 24-25 Juli di tengah perkembangan ekonomi global dan perubahan sentimen suku bunga acuan, juga perkembangan perekonomian domestik yang memperlihatkan gejala perlambatan.
Ekonom Bloomberg Tamara M. Henderson memperkirakan Bank Indonesia masih akan mempertahankan bunga acuan di level saat ini 5,75% di tengah masih tingginya ketidakpastian global yang bisa mengancam nilai tukar rupiah. "Aliran modal asing ke dalam negeri masih relatif kecil dan rentan terhadap pembalikan arah di kala selera berinvestasi pemodal global menyusut," jelasnya.
Ekonom menilai meski inflasi IHK Indonesia saat ini sudah di kisaran target bank sentral, langkah pengguntingan bunga acuan dinilai masih terlalu awal untuk dilakukan. Pasalnya, penurunan bunga acuan akan memangkas dukungan utama bagi rupiah seiring dengan semakin sempitnya selisih imbal hasil dua negara.
Imbal hasil UST 10 tahun saat ini bertengger di level 3,839%, sementara INDOGB 10 tahun di posisi 6,213% mencerminkan selisih 237 bps.
-- dengan bantuan analisis teknikal M. Julian Fadli.
(rui)