Tingkat bunga acuan BI7DRR saat ini di level 5,75%, menurut analis, tidak sesuai dengan kondisi inflasi domestik yang sudah melandai di angka 3,5% dengan potensi penurunan lebih lanjut ke depan ke kisaran 2,6% pada akhir tahun ini. "Frustrasi pemodal asing bisa diatasi dengan Bank Indonesia memulai siklus pemangkasan bunga acuan supaya lebih selaras dengan tingkat inflasi," jelasnya.
Dengan dimulainya pemangkasan bunga acuan, animo pemodal di pasar SUN akan lebih kencang dan menurunkan level imbal hasil lebih rendah lagi.
Konsumsi masyarakat tertahan
Selain inflasi yang sudah jinak di kisaran target, ada cukup banyak alasan bagi bank sentral untuk memulai siklus pengguntingan bunga acuan. Yang terutama adalah untuk mendukung momentum pertumbuhan ekonomi domestik yang sejauh ini terancam kelesuan konsumsi masyarakat.
Ada kecenderungan sebagian besar masyarakat terutama yang memiliki kekuatan daya beli, memilih menahan diri dengan memarkir dananya di instrumen investasi berpendapatan tetap yang mudah dicairkan seperti obligasi ritel dan deposito perbankan.
Tecermin dari membludaknya nilai pemesanan ORI023, obligasi ritel terakhir yang dipasarkan oleh pemerintah, hingga level rekor hampir Rp30 triliun pekan ini. Ditambah terus bertambahnya nilai simpanan masyarakat di bank umum utamanya untuk saldo di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar.
Baca juga: Orang Kaya Tumpuk Duit, Konsumsi Domestik Kian Tertahan Daya Beli
Terus naiknya tawaran bunga simpanan terutama deposito berjangka seiring dengan tingginya bunga acuan BI7DRR menjadi daya tarik utama bagi para kaum berkantong tebal untuk membiakkan dananya di simpanan bank.
Kecenderungan menahan konsumsi dengan menempatkan uang di instrumen likuid ketimbang membelanjakannya untuk aktivitas konsumsi maupun memodali ekspansi dan produksi, besar kemungkinan dipengaruhi oleh mulai menurunnya keyakinan konsumen di Indonesia.
Indeks Keyakinan Konsumen Juni masih di level optimistis akan tetapi turun ke posisi 127,1 dari sebelumnya di 128,3 pada Mei 2023. Penurunan optimisme konsumen terjadi di hampir semua kelompok pengeluaran, di mana yang terlihat paling kurang optimistis adalah kelompok pengeluaran menengah bawah (Rp2,1 juta-Rp3 juta) dan menengah (Rp4,1 juta-Rp5 juta).
Mulai memudarnya keyakinan konsumen itu utamanya untuk pembelian barang tahan lama yang diprediksi menurun pada Juni terutama oleh kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta, juga kelompok Rp2,1 juta-Rp3 juta.
Pemicu penurunan keyakinan konsumen tak lain adalah karena kekhawatiran terhadap kondisi penghasilan yang ditakutkan tidak lagi bisa mengimbangi pengeluaran. Pada Juni 2023, optimisme konsumen terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu menurun, bila dibanding survei pada Mei terutama pada kelompok berpengeluaran menengah ke bawah.
Bank Indonesia bukan berdiam diri melihat gejala perlambatan dan kelesuan seperti tecermin dari pertumbuhan kredit pada Juni yang melambat dan penjualan ritel yang terkontraksi. Bank sentral menggelontorkan stimulus makrprudensial senilai Rp108 triliun untuk mendorong laju pertumbuhan kredit. Akan tetapi, dalam pandangan analis, dampak stimulus likuiditas perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi relatif terbatas dan belum akan mampu membantu Indonesia membalikkan tekanan perlambatan.
"Dampaknya terbatas dibanding pengguntingan bunga. Stimulus itu bisa menahan kejatuhan, tapi tidak mampu menaikkan," kata Lionel.
Tergantung rupiah
Keputusan Bank Indonesia berbalik arah memulai siklus pemangkasan bunga acuan akan sangat dipengaruhi oleh kesiapan nilai tukar rupiah menghadapi tekanan eksternal, terutama yang berepisentrum dari bunga acuan the Fed. Langkah kenaikan 225 bps selama Agustus 2022-Januari 2023 terutama ditempuh oleh MH Thamrin untuk mendukung kekuatan rupiah dari tekanan eksternal bunga acuan Amerika.
Saat ini pelaku pasar cenderung lebih optimistis puncak bunga acuan the Fed sudah akan tercapai pada kuartal II di level 5,50%. Perkiraan kenaikan bunga acuan lebih lanjut ke kisaran 5,75% semakin mengempis dengan perkembangan capaian inflasi AS yang semakin landai. Inflasi di kawasan utama seperti Uni Eropa juga memperlihatkan tren jinak.
Baca juga: Stimulus Tak Cukup, BI Perlu Pangkas Bunga Demi Ekonomi
Rupiah memiliki beberapa amunisi tambahan untuk bertahan di tengah masih adanya ketidakpastian global. Pertama, posisi utang luar negeri (ULN) masih relatif sehat dengan penurunan pada Mei lalu ke level US$398,27 miliar, terendah sejak November tahun lalu.
Kedua, kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor mulai Agustus akan membantu suplai dolar AS di pasar dan memberi tambahan kekuatan bagi rupiah.
Berdasarkan hitungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, melalui kebijakan baru repatriasi devisa hasil ekspor dengan penempatan minimal 3 bulan sebesar 30% dari nilai ekspor, ada potensi sedikitnya US$40 miliar hingga US$50 miliar dalam setahun tambahan devisa di dalam negeri.
Hitungan Citigroup, dalam tiga bulan suplai dolar AS di pasar domestik bisa bertambah setidaknya US$ 7 miliar melalui penerapan kebijakan baru tersebut
Ketiga, suplai SUN berkurang drastis hingga 49% akan membantu tingkat imbal hasil obligasi pemerintah bertahan di level yang menarik.
Analis Goldman Sachs Rina Jio berpandangan langkah Bank Indonesia yang diperkirakan akan cenderung memegang SUN sampai jatuh tempo ketimbang menjualnya akan membuat suplai SUN makin terbatas setidaknya dalam satu sampai dua tahun ke depan. Alhasil, potensi penguatan harga surat utang terbitan pemerintah RI akan semakin panjang.
(rui)