Logo Bloomberg Technoz

Prioritas utama penyaluran kredit baru pada kuartal ini adalah kredit modal kerja, diikuti oleh kredit investasi dan kredit konsumsi. Khusus untuk kredit konsumsi, penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR), lalu diikuti oleh kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor.

"Sedangkan berdasarkan sektor, penyaluran kredit baru pada kuartal III akan diprioritakan untuk sektor Industri Pengolahan, Sektor Perdagangan Besar dan Eceran lalu sektor Perantara Keuangan" kata Bank Indonesia.

Kebijakan kredit lebih ketat

Perlambatan penyaluran kredit perbankan pada 2023 tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan dunia usaha yang memilih menahan diri dari pengajuan kredit baru. 

Pelaku usaha masih lebih senang memakai dana sendiri yang berasal dari laba ditahan untuk membiayai aktivitas operasional dan ekspansi. Selain itu, dunia usaha juga lebih suka memanfaatkan fasilitas longgar tarik yang sudah ada ketimbang mengajukan kredit baru. 

Penyebabnya, biaya bunga yang mahal menjadi penghalang minat pengajuan kredit baru. Sedangkan memakai dana sendiri maupun memanfaatkan fasilitas longgar tarik dinilai lebih memudahkan dan lebih cepat juga memberikan biaya bunga yang lebih murah. "Selain itu, juga karena optimalisasi fasilitas eksisting serta menghindari risiko nilai tukar," jelas Bank Indonesia. 

Di sisi lain, perbankan juga masih menerapkan kebijakan penyaluran kredit (lending standard) lebih ketat sejurus dengan prospek makroekonomi yang masih lesu ditambah level bunga acuan BI7DRR yang masih tinggi. "Kebijakan penyaluran kredit lebih ketat karena bunga kredit dan premi kredit berisiko," kata bank sentral.

Hasil Survei Perbankan yang dirilis hari memprakirakan, kebijakan penyaluran kredit pada kuartal III-2023 diperkirakan masih akan lebih ketat dibandingkan kuartal sebelumya. Indikasinya tecermin dari Indeks Lending Standard (ILS) kuartal III yang masih positif di level 0,1%.

"Standar penyaluran kredit yang lebih ketat dibanding kuartal sebelumnya diperkirakan akan terjadi pada seluruh jenis kredit kecuali kredit pemilikan rumah dan apartemen [KPR/KPA] yang kemungkinan lebih longgar," jelas Bank Indonesia.

Rumah tangga diperkirakan akan mulai banyak melakukan pengajuan kredit baru ke perbankan utamanya untuk KPR, kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit peralatan ruamh tangga. 

"Pada tiga bulan mendatang, mayoritas jenis pembiayaan yang akan diajukan oleh rumah tangga adalah kredit multiguna meski dengan pertumbuhan yang melambat dibanding hasil survei pada Mei. Sedangkan kebutuhan terhadap KPR, KKB, kredit peralatan rumah tangga dan kartu kredit diprediksi meningkat pada 3 bulan mendatang," demikian hasil survei Bank Indonesia mencatat.

Pertumbuhan ekonomi masih optimistis

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani tetap optimistis Indonesia akan mampu mencapai pertumbuhan 5% tahun ini di tengah suramnya prospek pertumbuhan China yang membuat perekonomian global dalam tanda tanya seiring masih tingginya bunga acuan di kawasan ekonomi utama. 

"Kami optimistis untuk 2023 karena kami melihat data angka pada semester I-2023," kata Sri dalam wawancara dengan Bloomberg TV di tengah acara pertemuan Menteri Keuangan G-20 di India.

"Pada semester II-2023, ada sisi positif dari domestik yaitu dari konsumsi rumah tangga, di mana ada gelar Pemilihan Umum tahun depan yang akan menaikkan pertumbuhan ekonomi karena peningkatan belanja baik dari pemerintah maupun dari partai politik," jelasnya. 

Dalam pandangan ekonom, pemerintah perlu berupaya menaikkan kepercayaan diri para konsumen domestik bahwa jelang Pemilu 2024 kondisi masih akan stabil. Dengan kepercayaan diri yang terjaga, masyarakat akan berbelanja dan beraktivitas ekonomi tanpa khawatir sehingga roda perekonomian bisa menggelinding cepat.

"Bukan stimulus yang [mendesak] dibutuhkan tapi bagaimana agar pemerintah dapat menjaga keyakinan konsumen bahwa di tahun politik kondisi masih akan tetap stabil. Jika masyarakat bisa dijaga kepercayaan dirinya, sehingga aktivitas belanja berjalan juga kegiatan ekonomi lain, maka konsumsi masyarakat masih akan terjaga," kata Teuku Riefky, ekonom LPEM Universitas Indonesia. 

(rui/dhf)

No more pages