Sementara itu, permintaan China atas properti di luar negeri diprediksi semakin bertumbuh seiring dengan perjalanan internasional yang kembali dibuka. Akan tetapi menurut CEO dan salah satu pendiri Juwai IQI Kasif Ansari, sebagian besar transaksi real estat masih bergantung pada kemampuan pembeli untuk pergi ke luar negeri. Hal ini disebabkan oleh perjalanan internasional yang masih belum mencapai level yang sama dengan sebelum pandemi, dipengaruhi kapasitas maskapai yang terbatas dan tarif yang mahal.
Selama beberapa tahun ke depan, eksodus diprediksi masih akan berlanjut yang mendorong investasi properti China di luar negeri. Laporan tersebut memperkirakan sebanyak 712.000 orang dari negara tersebut akan bermigrasi ke AS, Kanada, dan Australia sepanjang tahun 2023 hingga 2025.
Kebijakan Presiden China Xi Jinping atas “kemakmuran bersama” membuat orang-orang kaya China berbondong-bondong mencari tempat yang lebih ramah seperti Singapura, atau mempersiapkan rencana cadangan. Pembatasan Covid Zero yang dilakukan selama tiga tahun juga menambah alasan bagi mereka untuk pindah ke negara lain.
Capital flight atau keluarnya arus modal secara besar-besaran dari China diprediksi mencapai US$150 miliar tahun ini. Banyak orang memilih menempatkan uang mereka di luar negeri karena adanya kekhawatiran tentang kebijakan lain di negara mereka.
Sementara negara-negara Barat telah lama menjadi kiblat bagi imigran China, Asia Tenggara juga menarik minat para individu berpenghasilan tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemerintah yang meluncurkan sejumlah program seperti ‘golden visa’ yang mempercepat investor dan profesional untuk menetap di negara-negara tersebut.
(bbn)