Bukalapak juga mencatat penurunan kunjungan menjadi rata-rata 15,56 juta dari sebesar 18,1 juta kunjungan pada kuartal sebelumnya. Sedangkan BliBli mencatat kenaikan kunjungan dari rata-rata 25,4 juta kunjungan pada kuartal I menjadi 27,1 juta kunjungan pada kuartal II-2023.
Di luar itu, Shopee menjadi satu-satunya dari lima besar marketplace di Indonesia yang masih mencatat kenaikan rata-rata kunjungan selama kuartal II-2023 sebesar 166,96 juta dari sebesar 158 juta kunjungan pada kuartal sebelumnya. Shopee juga masih mencatat pertumbuhan bila dibandingkan kuartal II-2022 yang saat itu sebesar 131,3 juta kunjungan per bulan.
Sebagai catatan, data kunjungan marketplace yang dirilis oleh Similarweb baru menangkap kedatangan via situs atau website, di luar kunjungan via aplikasi di ponsel.
Penjualan Sepi?
Tren penurunan kunjungan yang dialami oleh mayoritas lokapasar terbesar di Indonesia memantik kecemasan itu akan berdampak besar pada kelesuan penjualan.
Selain itu, ada indikasi kebijakan berbagai marketplace yang mulai menaikkan biaya platform (platform fee) dan mengurangi program 'bakar uang' sejalan dengan mulai beralihnya fokus unicorn mengejar profitabilitas, membuat animo konsumen untuk berbelanja online semakin susut.
Mengacu pada hasil riset Hypefast, mulai ada pergeseran preferensi belanja konsumen di Tanah Air terutama untuk merek lokal di mana belanja offline mulai kembali dilirik menyusul langkah sejumlah marketplace yang mulai menaikkan platform fee pada transaksi sehingga mengurangi subsidi ongkos kirim.
"(Konsumen) berpotensi shifting ke marketplace kompetitor atau belanja di toko offline. Konsumen di daerah pun enggan belanja online. Makanya, toko offline tengah dilirik brand lokal untuk masuk ke kota tier 2 dan tier 3. Begitu mulai masuk distribusi offline, masuk ke convenient store, aksesibilitas menjadi jauh lebih luas dibanding online presence," kata Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri seperti dilansir oleh DailySocial, akhir Juni lalu.
Dua lokapasar terbesar tercatat menaikkan biaya layanan pelanggan yaitu Tokopedia sebesar Rp3.000 dari semula Rp1.000 setiap transaksi. Sedangkan Shopee mengenakan Rp1.000 per transaksi. Bukalapak juga mengenakan biaya pelanggan Rp2.000 per transaksi.
Bukan cuma itu, pelanggan marketplace juga kini tidak selalu bisa mendapatkan subsidi ongkir. Pasalnya, kebanyakan marketplace mengenakan syarat tertentu bila pembeli ingin mendapatkan subsidi atau gratis ongkir, misalnya dengan memakai transaksi pembayaran menggunakan paylater atau pembayaran di bank tertentu.
Bukan hanya pelanggan toko online di lokapasar yang dikenakan biaya atau kehilangan peluang menikmati subsidi ongkir. Para penjual juga menanggung biaya penjualan yang semakin banyak.
Andri Salahuddin, salah seorang pemilik toko online yang menjual berbagai buku, mengungkapkan, platform fee yang semakin mahal bahkan mulai membuat selisih biaya berjualan melalui lokapasar dengan toko fisik semakin sempit.
Penjual di Tokopedia dikenakan biaya platform antara 1,5%-3% untuk seller Power Merchant dan Power PRO. Adapun Lazada mengendakan payment fee sebesar 1,82% dari harga barang di luar biaya kirim dan asuransi. BliBli mengenakan biaya penjual lebih besar mulai 2% hingga 8% berdasarkan kategori barang.
Daya Beli Melemah
Penurunan kunjungan di lokapasar selain ditengarai karena kemunculan banyak biaya-biaya baru, kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh kelesuan daya beli masyarakat.
Penjualan mobil pada Juni melambat, disusul kinerja impor barang konsumsi juga menurun 6,6% secara tahunan bahkan anjlok hingga 23,3% dibanding Mei menjadi US$1,6 miliar.
"Perlambatan impor barang konsumsi pada Juni lalu mengonfirmasi perlambatan konsumsi domestik yang terindikasi dari rilis data Indeks Kepercayaan Konsumen dan Indeks Penjualan Riil. Perkiraan kami, konsumsi domestik tumbuh 4,3% year-on-year pada kuartal II-2023, lebih lambat dibanding kuartal I sebesar 4,5%," kata Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi dalam catatan, Selasa (18/7/2023).
Capaian kinerja neraca dagang pada Juni mengindikasikan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2023 menjadi 4,6% dari sebesar 5% pada kuartal sebelumnya, menurut prediksi Samuel Sekuritas.
Bank Indonesia mencatat, penjualan eceran riil pada Mei terkontraksi baik secara bulanan maupun tahunan. Pada Mei, penjualan eceran riil tercatat anjlok 4,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan dibandingkan April, penurunannya lebih dalam mencapai 8%.
Penurunan penjualan eceran secara bulanan dilihat sebagai rangkaian siklus normalisasi konsumsi pasca Lebaran pada April lalu. Sedangkan secara tahunan, kontraksi penjualan eceran diduga masih sebagai dampak kenaikan harga BBM pada September lalu yang berimbas pada daya beli masyarakat sejurus dengan inflasi harga barang.
"Penurunan penjualan ritel secara tahunan memang menunjukkan ada penurunan daya beli masyarakat karena memang tahun lalu kita sangat menikmati windfall komoditas sehingga uang beredar sangat banyak dan berimbas pada daya beli masyarakat yang tinggi," komentar Teuku Riefky, ekonom dari LPEM UI kepada Bloomberg Technoz.
Kelesuan penjualan eceran diperkirakan akan berlanjut pada Juni dengan prakiraan kontraksi -0,1% month-to-month, meski secara tahunan diprediksi berbalik tumbuh positif 8%, demikian hasil survei Bank Indonesia yang dirilis hari ini. Terutama didorong oleh penjualan kelompok makanan dan minuman serta bahan bakar kendaraan bermotor.
Proyeksi itu kemungkinan besar menjadi kenyataan bila menimbang hasil survei konsumen terakhir yang dirilis pekan lalu di mana mayoritas konsumen di Indonesia menurun level optimisme-nya terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Indeks Keyakinan Konsumen Juni masih di level optimistis akan tetapi turun ke posisi 127,1 dari sebelumnya di 128,3 pada Mei 2023. Penurunan optimisme konsumen terjadi di hampir semua kelompok pengeluaran, di mana yang terlihat paling kurang optimistis adalah kelompok pengeluaran menengah bawah (Rp2,1 juta-Rp3 juta) dan menengah (Rp4,1 juta-Rp5 juta).
Mulai memudarnya keyakinan konsumen itu utamanya untuk pembelian barang tahan lama yang diprediksi menurun pada Juni terutama oleh kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta, juga kelompok Rp2,1 juta-Rp3 juta.
Pemicu penurunan keyakinan konsumen tak lain adalah karena kekhawatiran terhadap kondisi penghasilan yang ditakutkan tidak lagi bisa mengimbangi pengeluaran. Pada Juni 2023, optimisme konsumen terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu menurun, bila dibanding survei pada Mei terutama pada kelompok berpengeluaran menengah ke bawah.
(rui/aji)