Kebijakan repatriasi devisa yang baru berlaku Agustus tersebut sudah cukup lama menjadi desakan agar nilai tukar rupiah tidak terus menerus terbelenggu arus keluar masuk dana asing di pasar portofolio (hot money), yang kerap membuat nilai rupiah tidak stabil.
Berdasarkan hitungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, melalui kebijakan baru repatriasi devisa hasil ekspor dengan penempatan minimal 3 bulan sebesar 30% dari nilai ekspor, ada potensi sedikitnya US$40 miliar hingga US$50 miliar dalam setahun tambahan devisa di dalam negeri.
Hitungan Citigroup, dalam tiga bulan suplai dolar AS di pasar domestik bisa bertambah setidaknya US$ 7 miliar melalui penerapan kebijakan baru tersebut, kata analis Helmi Arman.
"Di tengah tingginya bunga acuan Amerika dan ketiadaan faktor yang bisa signifikan untuk menyimpan dalam rupiah, kami berpandangan bahwa kebijakan manajemen pengaturan aliran modal harus menjadi alat utama untuk meredam arus keluar modal dan membatasi risiko terhadap neraca pembayaran Indonesia," jelas Helmi seperti dilansir dari Bloomberg News.
Secara terperinci, pewajiban parkir devisa di dalam negeri diarahkan untuk nilai transaksi ekspor di atas US$250.000 dengan nilai simpan minimal 30%. Jadi, bila nilai transaksi ekspor mencapai US$ 1 juta, maka nilai yang wajib ditempatkan di sistem perbankan dalam negeri mencapai US$300.000 selama 3 bulan.
Sebaliknya, bila nilai transaksi ekspor tak sampai US$250.000, aturan tersebut tidak mewajibkan penempatan di sistem dalam negeri.
Walau kebijakan itu berpotensi menambah suplai dolar AS di dalam negeri, akan tetapi efektivitasnya masih menjadi pertanyaan. Terutama di tengah tren penurunan kinerja ekspor dan harga komoditas yang semakin jatuh. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, kinerja ekspor pada Juni 2023 anjlok 21,2%.
Tren penurunan kinerja ekspor terjadi seiring dengan harga komoditas yang semakin turun setelah mencapai puncak tahun lalu, ditambah perlambatan permintaan global.
"Ekspor yang makin merosot akan membuat suplai dolar berkurang. Dengan kondisi saat ini [ekspor terus turun], agak berat. Dari [penerapan] yang sebelumnya juga tidak jelas efektivitasnya," komentar Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Prayadi.
Sejak awal Maret lalu, Bank Indonesia rutin menggelar lelang Term Deposit Devisa Hasil Ekspor. Akan tetapi, sampai sejauh ini memang nilai valas yang berhasil ditarik belum signifikan membantu peningkatan suplai dolar AS. Sebagai gambaran, sejak awal Maret hingga Juni, nilai valas yang berhasil ditarik melalui operasi moneter tersebut sekitar US$ 2 miliar.
Jauh di bawah nilai ekspor RI yang mencapai US$ 21 miliar per bulan, bahkan hanya sepertiga dari nilai transaksi valas di perbankan yang dapat mencapai US$ 6 miliar per hari.
Analis Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai, aturan baru repatriasi devisa ekspor perlu diikuti dengan ketersediaan instrumen valas yang menarik terlebih dengan masih tingginya bunga deposito valas di perbankan Singapura.
Bank Indonesia dalam pernyataan terakhir sudah memberikan sinyal akan menyediakan pilihan tenor term deposit lebih banyak dibanding yang ada saat ini. Seperti diketahui, sejak Maret lalu, ketersediaan term deposit valas DHE baru terbatas untuk tenor 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan.
Bank sentral berencana melengkapinya dengan tenor lebih pendek di bawah 1 bulan bahkan tenor overnight. Namun, belum jelas kapan pilihan tenor lebih pendek itu akan disediakan.
Dari sisi tawaran bunga deposito valas, dalam lelang TD valas DHE terakhir 13 Juli lalu, berkisar mulai 5,25% hingga 5,54% tergantung pada tenor deposito dan nilai penempatan. Tawaran bunga itu relatif lebih tinggi dibandingkan bunga valas di perbankan Singapura.
Bank asing di negeri jiran seperti HSBC misalnya, menawarkan bunga valas deposito di kisaran 3,75% hingga 4%. Sedangkan di DBS Singapore, tawarannya mulai 4,59% hingga 5,12%. Lalu, UOB Singapore menawarkan bunga deposito valas mulai 3,58% sampai 5,29%.
(rui/aji)