Pertamax Green 95
Dia pun mengatakan Pertamina belum menetapkan harga baku untuk bensin bioetanol yang diberi nama Pertamax Green 95 itu. Saat ini, perusahaan pertambangan pelat merah itu sedang melakukan proyek pilot untuk menganalisis berapa nilai keekonomian bioetanol yang bisa dioptimalkan.
“Dan selama proses itu juga harus ada premarketing. Uji coba dahulu nih, respons dari masyarakat oke atau tidak. Kemudian, kualitasnya bagus atau tidak. Itu harus ada tahapan itu dahulu. Tahap pengujian,” tutur Arifin.
Dia tidak menampik Pertamina masih membutuhkan waktu untuk bisa memproduksi Pertamax Green 95 dalam skala besar, lantaran industri bioetanol di dalam negeri relatif belum stabil.
“Namun, kita harus menuju ke sana karena kita masih punya lahan yang luas [untuk dijadikan perkebunan tebu,” katanya.
Pertamax Green 95 memiliki oktan 95 seperti halnya Pertamax Plus. Sebagai catatan, Pertamina menghentikan penjualan bensin beroktan 95 sejak 2016. Sebagai gantinya, perusahaan meluncurkan Pertamax Turbo yang beroktan 98.
Saat ini, bensin dengan oktan 95 hanya dijual oleh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta. Per Juni 2023, bensin tersebut dibanderol di rentang harga Rp13.200—13.400 per liter di SPBU milik BP AKR, Shell, dan Vivo.
Pemerintah, di sisi lain, menargetkan penambahan lahan tebu seluas 700.000 hektare (ha) untuk dapat mengerek produksi bioetanol sebagai sumber energi terbarukan menjadi 1,2 juta kiloliter (kl) per 2030.
Target tersebut melonjak drastis dari realisasi produksi bioetanol fuel grade nasional sebanyak 40.000 kl per tahun pada 2022, atau jauh di bawah kebutuhan rerata 696.000 kl per tahun, menurut data Kementerian ESDM.
Terkait dengan target multiplikasi produksi bioetanol tersebut, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 1 Pahala Nugraha Mansury mengatakan saat ini pemerintah sudah memiliki payung hukum yang jelas melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2023
Perpres tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati itu diluncurkan dalam rangka mengakselerasi produksi biofuel di dalam negeri sampai per 2030 dan swasembada gula per 2028.
“Saat ini Indonesia baru memiliki 180.000 hektare lahan tebu saja. Kami berharap jumlah lahan bisa dikembangkan untuk bisa ditanami tebu sebagai salah satu sumber bioetanol. [Pengembangan lahan tebu] yang paling potensial bisa meningkat kurang lebih 700.000 ha, sehingga dapat menghasilkan 35 juta ton tebu,” ujarnya di acara EBTKE Conex 2023, Kamis (13/7/2023).
(wdh)