Menurut catatan Kadin, kualitas kesehatan di Indonesia mengalami peningkatan tecermin dari angka harapan hidup yang mencapai 71,86 tahun pada 2022. Namun, angka itu masih lebih rendah dari Singapura (83 tahun), Thailand (75,5 tahun), Malaysia (75 tahun), dan Vietnam (73,5 tahun).
Sektor Prospektif
Lebih lanjut, Arsjad pun memproyeksikan omnibus law sektor kesehatan itu akan membuka lebar peluang investasi teknologi biomedis dan telemedicine.
“Terutama pada sektor telemedicine dan juga teknologi biomedis. Selain itu, UU ini juga meningkatkan peluang usaha dalam bidang alat kesehatan dan farmasi. Lalu, penghiliran industri alat kesehatan dan farmasi dengan memprioritaskan bahan baku lokal memberikan prospek yang besar bagi dunia usaha untuk berkembang.”
Di lain sisi, Arsjad juga mengapresiasi pengaturan soal pelayanan kesehatan tradisional di UU tersebut, melalui kemudahan investasi dan berusaha bagi pengusaha layanan kesehataan tradisional.
“Dengan demikian pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan kualitas kesehatan sekaligus mendorong dunia usaha bidang kesehatan secara keseluruhan,” ucapnya.
Sebelumnya, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai Undang-Undang Kesehatan, yang baru disahkan, masih menyisakan tiga isu krusial yang dianggap berbahaya bagi sektor kesehatan di Tanah Air.
Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan, selain isu formal terkait dengan perumusan naskah beleid tersebut, terdapat problem substansi yang belum terselesaikan hingga rancangan omnibus law sektor kesehatan itu disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (11/7/2023).
Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD. Padahal, menurut Diah, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10% pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.
“Realitas di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. Hilangnya mandatori belanja anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujarnya, Rabu (12/7/2023).
Kedua, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan nonupah secara layak.
Menurut Diah, RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Ketiga, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau.
“Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang,” paparnya.
(wdh)