Impor China sudah turun selama 4 bulan beruntun.
Meski sudah mencabut kebijakan zero Covid-19, tetapi ekonomi China masih relatif lesu, belum sepenuhnya bangkit. Berbagai data terbaru memberi konfirmasi akan hal ini.
Pada Juni 2023, pertumbuhan kredit baru di China tercatat 11,3% yoy. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang 11,4% yoy.
Kemudian penjualan mobil pada Juni 2023 hanya tumbuh 0,14% yoy. Jauh di bawah pertumbuhan bulan sebelumnya yang 27,9%.
Lemahnya permintaan membuat inflasi di China sangat minim. Inflasi pada Juni 2023 tercatat hanya 0% yoy, alias tidak ada kenaikan harga. Bulan sebelumnya, inflasi ada di 0,2% yoy.
Lalu pada Juni 2023, aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di China berada di 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 50,9%.
Padahal, awalnya China menjadi tumpuan pemulihan ekonomi dunia usai negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu mencabut kebijakan zero Covid-19. Banyak negara yang menggantungkan nasib kepada permintaan dari China.
Namun sejauh ini, harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud.
“Ketidakpastian meningkat di China, seiring pelemahan momentum perekonomian dunia. Proyeksi perlambatan ekonomi di China belum kunjung membaik,” tegas Bruce Pang, Kepala Ekonom untuk China di Jones Lang LaSalle Inc, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.
Impor Tertekan
Tidak hanya ekspor, impor Indonesia pun diperkirakan turun. Angka median proyeksi pertumbuhan impor untuk Juni 2023 ada di -3,5% yoy.
Performa impor jauh memburuk dibandingkan Mei 2023, yang melonjak 14,35% yoy.
Lagi-lagi China bisa dikatakan mempengaruhi impor Indonesia. Maklum, China juga adalah negara pemasok barang utama, nomor satu, bagi Indonesia.
Pada Juni 2023, ekspor China anjlok, turun 12,4% yoy. Ini adalah kontraksi paling dalam sejak Februari 2020 atau masa awal pandemi Covid-19.
Kontraksi ekspor 12,4% yoy lebih dalam dibandingkan Mei 2023 yang turun 7,5% yoy. Juga lebih parah dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan 9,5%.
“Penurunan aktivitas manufaktur di China membuat ekspor mereka anjlok 12,4% yoy, terdalam selama 3 tahun terakhir. Akibatnya, impor Indonesia pun terpengaruh,” sebut Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri.
Penurunan impor tidak selalu menjadi kabar baik. Sebab, impor Indonesia didominasi bahan baku/penolong dan barang modal (dengan porsi lebih dari 90%), yang digunakan untuk keperluan produksi industri dalam negeri.
Jadi kalau impor turun, maka ada sinyal bahwa aktivitas industri dalam negeri akan melemah.
Neraca Perdagangan Bisa Surplus Lagi
Meski kontraksi ekspor diperkirakan lebih dalam ketimbang impor, tetapi neraca perdagangan Indonesia ‘diramal’ masih surplus. Median angka proyeksi untuk neraca perdagangan Juni 2023 adalah US$ 1,12 miliar.
Jika benar terjadi, maka Indonesia akan membukukan surplus perdagangan selama 38 bulan tanpa putus.
Namun ke depan, surplus neraca perdagangan diperkirakan kian tergerus. Ekspor akan kian menurun seiring pelemahan ekonomi global, sehingga sulit menopang surplus neraca perdagangan.
“Ke depan, kami memperkirakan kinerja ekspor akan terus menurun karena lemahnya permintaan dunia. Sedangkan impor bisa membaik seiring permintaan domestik yang masih cukup kuat. Kami memperkirakan transaksi berjalan (current account) Indonesia pada 2023 akan mencatat defisit 0,65% dari PDB,” ungkap Faisal.
(aji/roy)