Begitu juga probabilitas kenaikan di bulan-bulan berikutnya yakni November turun menjadi 25,7% dari semula 36,2% dan Desember yang mencatat penurunan ekspektasi menjadi 21,2%.
"The Fed masih akan menyuarakan skenario dua kali kenaikan masing-masing 25 bps, tapi pasar tidak percaya the Fed akan naikkan sampai dua kali. Prediksi pasar bunga the Fed akan naik satu kali saja 25 bps," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, Kamis (13/7/2023).
Keyakinan pasar itu berdasar pada perhitungan bahwa dengan capaian inflasi Juni di 3%, maka pada akhir 2023 inflasi di negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia itu akan di bawah 4%. Dengan demikian, akan menjadi kurang logis apabila the Fed masih memaksakan kenaikan bunga acuan sampai 5,75% tanpa menempatkan perekonomian AS dalam risiko resesi.
Skenario terminal rate 5,5% akan semakin kuat apabila angka pengangguran Amerika mencatat kenaikan hingga 4%.
Pasca rilis data inflasi AS itu, kepercayaan diri pelaku pasar langsung terbang. Aksi beli surat utang di pasar obligasi negara maju dan emerging market kembali marak dengan indeks S&P Global Bond Developed Index melesat 0,5% dan indeks Emerging Market Bond Index juga menguat 0,8%.
Tingkat imbal hasil US Treasury menyusut ke kisaran 3,853%. Yield surat utang RI (SUN/INDOGB) juga langsung turun ke level 6,168%, level terendah setahun terakhir. Nilai tukar rupiah menguat signifikan 113 bps ke kisaran Rp14.965/US$. Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menguat ke 6.809,54, Kamis (14/7/2023).
Yield SUN Bisa di Bawah 6%
Dengan kembalinya kepercayaan diri investor terhadap arah bunga acuan the Fed, outlook pasar surat utang RI akan semakin mentereng. Bila skenario FFR berpuncak di 5,5%, harga SUN bisa terbang bahkan tingkat imbal hasil SUN tenor 10 tahun bisa terseret turun di bawah 6% pada akhir 2023 ini, prediksi Samuel Sekuritas.
Selain karena faktor sentimen eksternal bunga acuan global, keputusan pemerintah mengurangi penerbitan SUN juga akan mendorong harga surat utang lebih bagus yang secara otomatis menurunkan yield.
Bagi nilai tukar rupiah, hal itu juga akan memberi penguatan dengan animo asing ke aset-aset emerging market seperti Indonesia akan kembali tinggi sehingga memperbanyak suplai dolar AS di pasar.
Analis memperkirakan, dengan prediksi bunga terminal the Fed di level 5,5%, Bank Indonesia memiliki peluang untuk mulai menurunkan bunga acuan pada September atau Oktober 2023.
"Skenario [kenaikan Federal Funds Rate] 1x25 bps di sisa tahun membuka peluang penurunan BI7DRR pada September atau Oktober nanti," kata Lionel.
Terlebih, perekonomian domestik memperlihatkan sinyal kelesuan yang ditandai dengan daya beli yang masih belum mampu bangkit. Bank Indonesia melaporkan, penjualan eceran riil pada Mei terkontraksi baik secara bulanan maupun tahunan.
Pada Mei, penjualan eceran riil tercatat anjlok 4,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan dibandingkan April, penurunannya lebih dalam mencapai 8%.
"Penurunan penjualan ritel secara tahunan memang menunjukkan ada penurunan daya beli masyarakat karena memang tahun lalu kita sangat menikmati windfall komoditas sehingga uang beredar sangat banyak dan berimbas pada daya beli masyarakat yang tinggi," komentar Teuku Riefky, ekonom dari LPEM UI kepada Bloomberg Technoz, Rabu siang (12/7/2023).
Konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan dan membutuhkan stimulus lebih besar kala belanja pemerintah sejauh ini juga masih lesu dengan pertumbuhan hanya 0,9% pada semester I-2023. Di tengah kelesuan kinerja ekspor karena faktor permintaan global yang melemah dan penurunan harga komoditas dunia, pertumbuhan ekonomi RI tahun ini akan banyak berharap pada laju konsumsi domestik baik belanja rumah tangga maupun belanja pemerintah.
Pemangkasan bunga acuan BI7DRR bisa memberi kelonggaran bagi perekonomian, mendukung momentum pertumbuhan ekonomi domestik dan memberi kepercayaan diri bagi pebisnis di tahun politik.
(rui)