Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah mengubah haluan anggaran kesehatan dari yang sebelumnya merupakan anggaran wajib (mandatory spending) menjadi anggaran berbasis kinerja. Hal ini tertuang dalam UU Kesehatan Omnibus Law yang baru. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, hal ini dilandasi alasan bahwa besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas atau hasil yang ingin dicapai.
“Dengan tidak adanya persentase angka di dalam Undang Undang Kesehatan bukan berarti anggaran itu tidak ada. Namun tersusun dengan rapi berdasarkan dengan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja berdasarkan input, output dan outcome yang akan kita capai karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang uang," kata Juru bicara Kementerian Kesehatan M. Syahril sebagaimana keterangan resmi yang dikirimkan pada Rabu malam (12/7/2023).
Syahril mencontohkan, kondisi saat ini, ada 300,000 orang Indonesia setiap tahun meninggal akibat stroke. Lebih dari 6,000 bayi meninggal karena kelainan jantung bawaan yang tidak bisa dioperasi. Kemudian ada 5 juta balita hidup dalam kondisi stunting kendati anggaran kesehatan yang digelontorkan sangat banyak.
“Artinya apa? Karena dulu pedoman belum ada, guideline belum ada eh uangnya sudah ada. Akhirnya malah terjadi kebingungan. Perencanaan copy paste dari tahun sebelumnya ditambah inflasi sekian, akhirnya outcome-nya ya begitu begitu saja karena belum terarah dengan baik,” lanjut dia.
Oleh karena itu dengan diundangkannya Omnibus Law Kesehatan, mulai tahun anggaran 2024 maka disusun dahulu rencana induk kesehatan. Kemudian kata dia, diterakan bagaimana pembagian peran antara pusat dan daerah hinga targetnya nanti seperti apa.
"Jadi semua lebih terarah. Harapannya terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik," tutupnya.
Diketahui mandatory spending APBN hingga 5% menjadi salah satu alasan adanya dua fraksi di DPR menolak RUU Kesehatan disahkan. Alasan lainnya dua fraksi menilai pembahasan RUU ini hingga disahkan tersebut amat tergesa-gesa.
Anggota Fraksi Demokrat Dede Yusuf yang membacakan penolakan fraksinya di paripurna mengatakan, salah satu yang membuat fraksinya keberatan adalah soal dihapuskannya mandatory spending atau anggaran alokasi wajib 5% untuk kesehatan. Padahal seharusnya penganggaran wajib itu kata dia ditambah demi pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan.
"Peningkatan anggaran kesehatan melalui kebijakan fiskal dan minimal 5% dari APBN UU Nomor 36 Tahun 2009 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hendaknya dapat dtingkatkan jumlahnya. Dalam rapat panja (panitia kerja) mengusulkan peningkatan anggaran kesehatan di luar gaji namun tak disetujui," kata Dede, Selasa (11/7/2023)
Sementara anggota Fraksi PKS Netty Prasetiyani juga membacakan keberatan fraksinya hingga menolak RUU ini disahkan.
"Mandatory spending adalah roh dan bagian terpenting dalam RUU Kesehatan ini. Fraksi PKS menginginkan kerja murah, sehat murah bagi masyarakat sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak pada masyarakat luas dan bukan kepada para pemilik modal," kata dia.
(ezr)