Bukan hanya di China, angka kelahiran turun di banyak negara selama pandemi karena orang takut pergi ke rumah sakit. Selain itu, pandemi juga membuat para orang tua kehilangan dukungan keluarga bila hendak memiliki anak. Selain alasan tingginya biaya perawatan anak.
Namun, China menghadapi masalah tambahan yang sebagian karena penerapan “kebijakan satu anak” selama puluhan tahun. Itu membuat rasio gender di China menjadi timpang, mengingat preferensi tradisional di antara orang tua China lebih memilih anak lelaki. Akibatnya, penurunan jumlah wanita usia subur sulit untuk dibalik trennya bahkan setelah pemerintah mengakhiri kebijakan satu anak tersebut dengan mengizinkan keluarga untuk memiliki lebih banyak anak.
Beberapa daerah di China sudah mulai menawarkan berbagai insentif bagi pasangan agar mau memiliki anak. Shenzen, misalnya, tengah menyusun rencana pemberian subsidi pada orangtua untuk anak-anak mereka hingga usianya tiga tahun. Bantuan keuangan bisa mencapai 10.000 yuan atau setara Rp 22,68 juta yang diberikan sekaligus (lumpsump) ditambah subsidi sebesar 3.000 yuan per tahun atau setara Rp 6,8 juta.
Kebijakan itu muncul menyusul situasi demografi Shenzen yang makin suram. Kelahiran baru di provinsi itu telah turun selama empat tahun berturut-turut sedangkan jumlah wanita subur telah turun 8,7% sejak 2015.
“Langkah-langkah yang diambil pemerintah China untuk meningkatkan angka kelahiran terlalu sedikit dan terlambat, ditambah kewalahan akibat dampak Zero Covid,” ujar Christopher Beddor, wakil direktur penelitian China di Gavekal Dragonomics.
“Masalah intinya adalah bahwa hanya ada begitu banyak kebijakan yang dapat dicapai di bidang ini, karena penurunan angka kelahiran didorong oleh faktor struktural yang dalam,” kata Beddor, seraya menambahkan bahwa tantangan ekonomi yang ditimbulkan oleh penuaan dan penyusutan populasi China telah dibahas selama bertahun-tahun. “Pimpinan tampaknya terlambat menyadari bahwa masalah itu sangat nyata dan datang dengan sangat cepat.”
Pada 2019, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa populasi China akan mencapai puncaknya pada 2031 dan selanjutnya akan turun. Namun, tahun lalu, PBB merevisi perkiraan itu dan memprediksi puncak populasi China akan terjadi pada 2022 untuk selanjutnya menurun. Perkiraan terakhir, China akan kehilangan sekitar 110 juta orang pada 2050 dan akan turun menjadi setengah dari jumlah saat ini pada akhir abad ini.
Penurunan populasi usia kerja akan lebih besar. Kelompok ini akan merosot menjadi hanya 650 juta orang pada 2050, turun hingga 260 juta orang dari 2020, menurut prediksi Bloomberg Economics.
(rui)