Bloomberg Technoz, Jakarta – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai Undang-Undang Kesehatan, yang baru disahkan, masih menyisakan tiga isu krusial yang dianggap berbahaya bagi sektor kesehatan di Tanah Air.
Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan, selain isu formal terkait dengan perumusan naskah beleid tersebut, terdapat problem substansi yang belum terselesaikan hingga rancangan omnibus law sektor kesehatan itu disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (11/7/2023).
Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD. Padahal, menurut Diah, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10% pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.
“Realitas di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. Hilangnya mandatori belanja anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (12/7/2023).
Kedua, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan nonupah secara layak.
Menurut Diah, RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Ketiga, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau.
“Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang,” paparnya.

Tidak Transparan
Lebih lanjut, Dia beranggapan penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. Indikasinya, proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan.
Selain itu, dia berpendapat pengesahan UU Kesehatan ini juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formal dan material dalam RUU Kesehatan.
Diah mengatakan tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang.
Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, Senin (19/6/2023), naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya.
“Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini,” kata Diah.
Untuk itu, dia pun mendesak agar Presiden Joko Widodo meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.
(wdh)