Kini, rencana AS untuk mengirim bom klaster ke Ukraina mendapatkan sorotan dari negara-negara Asia Tenggara.
Bom klaster yang belum meledak sejak setengah abad yang lalu masih banyak ditemukan di Vietnam, Laos, dan Kamboja, dan menyebabkan puluhan ribu kematian dan cedera selama dan setelah perang. Selama tiga dekade terakhir, AS telah menyumbang lebih dari US$750 juta ke negara-negara tersebut untuk menghancurkan senjata konvensional itu.
Berdasarkan data dari The Monitor, AS menjatuhkan sebanyak 413.130 ton munisi tandan di Vietnam antara tahun 1965 hingga 1973. Sementara Komite Internasional Palang Merah (ICRC), mengutip pihak berwenang, melaporkan bahwa Laos terkontaminasi oleh sekitar 80 juta submunisi tandan, yang berdampak pada 17 provinsi dan mengakibatkan 300 korban setiap tahun.
Kementerian Luar Negeri Laos merilis pernyataan secara daring pada Senin (10/7/2023) yang meminta negara-negara tertentu tidak melakukan transfer atau memproduksi amunisi tersebut.
"Sebagai korban bom klaster terbesar di dunia, dan sebagai bagian dari Konvensi Munisi Cluster, Republik Demokratik Rakyat Laos mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pengumuman dan kemungkinan penggunaan bom klaster," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Pernyataan senada juga dirilis oleh Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, melalui akun Twitter-nya pada Minggu (9/7/2023). Ia meminta AS dan Ukraina untuk tidak menggunakan bom tersebut demi kebaikan warga Ukraina.
"Ini akan menjadi bahaya besar bagi Ukraina selama bertahun-tahun atau hingga seratus tahun jika bom klaster digunakan di wilayah yang diduduki oleh Rusia di Ukraina," tulis Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Twitter pada Minggu (9/7/2023).
"Saya mengimbau presiden AS sebagai pemasok dan presiden Ukraina sebagai penerima untuk tidak menggunakan bom klaster dalam perang karena korban yang sebenarnya adalah warga Ukraina."
(bbn)