Adapun, insentif yang diberikan mencakup penyediaan venue atau lokasi pergelaran dengan harga terjangkau serta akomodasi lainnya. Dalam kasus konser Taylor Swift, ungkap Sandi, Pemerintah Singapura juga menyediakan pendanaan untuk membantu proses tawar-menawar (bidding) dalam mendapatkan slot jadwal konser di negara tersebut.
Belajar dari strategi negara tetangga tersebut, Sandiaga mengungkapkan Pemerintah Indonesia pun mulai menggodok lembaga serupa yang bertugas khusus untuk mengakomodasi proses lobi, pendanaan bidding, hingga penyediaan venue pergelaran taraf internasional.
“Sangat dimungkinkan Indonesia memiliki lembaga fund [pendanaan] yang membantu memberikan dorongan atau kemudahan dari segi pendanaan bagi penyelenggara konser-konser yang ternyata menarik banyak wisatawan dan mampu menarik perputaran ekonomi lokal,” tutur Sandi.
Bagaimanapun, dia belum dapat mengelaborasi lebih jauh mengenai struktur dan mekanisme lembaga pendanaan konser tersebut. Dia hanya menyebut lembaga tersebut akan berbentuk badan layanan umum (BLU) yang saat ini sedang digodok konsepnya antara Kemenparekraf dan Kementerian Keuangan.
Kendala Lokasi
Terkait dengan kegagalan melobi musisi dunia seperti Coldplay untuk menggelar konser berdurasi panjang di Tanah Air, Sandi mengungkapkan salah satu kendala utama RI adalah ketersediaan venue yang memadai.
“Mengenai Coldplay, kami dari awal berupaya memberi keyakinan bahwa Coldplay bisa konser di Indonesia. Sebelumnya Indonesia justru tidak dipertimbangkan sama sekali karena beberapa tantangan yang tidak bisa dikondisikan. Kita beruntung masih dapat alokasi 1 hari. Kesulitannya dari sisi venue. Hanya 1 venue yang disetujui promotor maupun manajemen Coldplay, yaitu di GBK. Nah, di GBK sendiri tentunya ada alokasi [perizinan] waktu untuk bisa menambah hari maupun jadwal konser itu sendiri,” terang Sandi.
Selain itu, lanjutnya, kendala lain terdapat pada keterbatasan slot jadwal yang tersedia di dalam negeri. Di tengah kebutuhan GBK untuk digunakan sebagai areal kampanye Pemilu 2024, persaingan untuk mendapatkan izin penggelaran acara pun kian ketat.
Perputaran Ekonomi
Pada kesempatan yang sama, Sandi mengutarakan strategi penggelaran ajang internasional —termasuk konser musik, kompetisi olahraga, maupun konferensi tingkat tinggi (KTT)– terbukti efektif menyumbang perputaran ekonomi pariwisata dengan nilai signifikan.
“KTT G20, misalnya, perputaran ekonominya di atas US$500 juta, belum termasuk komitmen investasi [jangka panjang], dan geliat ekonominya bukan hanya di destinasi wisata tetapi di sektor lain juga. Sementara itu, kalau event musik maupun olahraga, dampaknya juga menaikkan kualitas spending wisatawan dan juga permintaan terhadap produk-produk lokal sebagai suvenir. Seperti kita tahu, industri ekonomi kreatif kita didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah [UMKM] yang menciptakan 97% lapangan kerja di Indonesia. Jadi dampak ajang internasional ini signifikan dan akan kami tingkatkan.”
Ke depan, lanjut Sandi, pemerintah akan mempertahankan beberapa perhelatan internasional sebagai signature event Indonesia. Misalnya, acara MotoGP dan Bali and Beyond Travel Fair (BBTF).
“Event-event ini dikurasi dan konsepnya kolaborasi dengan pemerintah daerah serta dunia usaha. Kita juga berhasil duduk di dewan UNWTO [Organisasi Pariwisata Dunia], nanti akan pertemuan tingkat menteri pariwisata dunia di situ dan itu akan mendatangkan lebih banyak event internasional yang mendesain ulang masa depan pariwisata Indonesia,” tutur Sandi.
(wdh)