Logo Bloomberg Technoz

Depresiasi rupiah tentu membawa kabar buruk. Aspek yang paling terasa adalah harga barang impor akan lebih mahal. Sekarang butuh rupiah yang lebih banyak untuk mengimpor barang dengan jumlah yang sama.

Masalahnya, sebagian besar impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi dalam negeri. Saat dunia usaha membeli bahan baku dengan harga lebih mahal seiring pelemahan rupiah, maka tambahan biaya itu akan dibebankan kepada konsumen.

“Para panelis mengindikasikan bahwa harga bahan baku yang lebih mahal adalah penyebab utama tekanan inflasi,” tulis laporan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur periode Juni 2023.

“Inflasi akibat impor (imported inflation) adalah ancaman yang harus diantisipasi,” tambah Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri.

Selain itu, pelemahan rupiah juga akan berdampak negatif terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam dokumen APBN 2023 dan Nota Keuangannya, disebutkan bahwa setiap pelemahan rupiah Rp 100/US$ dari asumsi, maka defisit anggaran berisiko bertambah Rp 3,1 triliun. Ini dengan asumsi faktor lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

Setiap pelemahan rupiah Rp 100/US$ dari asumsi, penerimaan negara memang akan bertambah Rp 5,4 triliun. Rinciannya, penerimaan perpajakan naik Rp 4 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 1,4 triliun.

Namun pada saat yang sama, belanja negara bertambah Rp 8,5 triliun. Belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah naik masing-masing Rp 7,4 triliun dan Rp 1,1 triliun.

Sumber: Kemenkeu

Akan tetapi, depresiasi rupiah juga bisa menjadi kabar baik. Saat rupiah melemah, produk-produk Indonesia akan lebih murah di mata pembeli luar negeri. Barang Indonesia jadi lebih kompetitif di pasar ekspor.

Ini menjadi penting karena kinerja ekspor Indonesia tengah mengendur. Sepanjang Januari-Mei 2023, total ekspor Indonesia bernilai US$ 108,06 miliar. Turun 6,01% dibandingkan 5 bulan pertama 2022.

Sumber: BPS

Devisa Ekspor Jadi Penyelamat Rupiah

Secara umum, pelemahan rupiah lebih berdampak negatif ketimbang positif. Depresiasi rupiah memang berpotensi mendongkrak ekspor, tetapi pada saat yang sama menyebabkan inflasi yang menggerus daya beli dan konsumsi. Padahal konsumsi berperan lebih besar dibandingkan ekspor dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas, berpandangan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan berperan penting dalam menentukan nasib rupiah. Ketika semakin banyak eksportir menempatkan DHE di dalam negeri, maka rupiah bisa menguat.

“DHE akan menjadi pembeda bagi rupiah ke depan. Saat ini penempatan DHE masih relatif kecil meski BI sudah memberikan suku bunga yang menarik,” sebut Tirta.

Per 23 Juni, penempatan valas di instrumen Term Deposit Valas DHE adalah Rp 1,37 miliar.

"TD Valas DHE sejauh ini belum sepenuhnya dimanfaatkan para eksportir walaupun tawaran bunganya menarik. Nilai penyerapan selama Maret-Juni juga masih kecil dibandingkan nilai ekspor Indonesia yang mencapai US$ 21 miliar per bulan atau nilai transaksi valas di bank-bank baik spot, swap maupun forward yang mencapai US$ 6 miliar per hari," komentar Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Tirta menambahkan, potensi TD Valas DHE memang masih tinggi. Dia memperkirakan, dalam skenario optimistis Indonesia semestinya bisa menarik likuiditas valas ekspor mencapai US$ 45,2 miliar.

(aji/roy)

No more pages