Bloomberg Technoz, Jakarta - DPR mengesahkan RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi undang undang dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. DPR dan pemerintah mengebut pembahasan RUU tersebut yang sudah mulai digaungkan pada awal tahun ini dan memicu pro dan kontra dari organisasi profesi kesehatan.
Pemerintah memasukkan draft RUU pada pekan pertama April 2023 dan kemudian dibahas di Komisi IX dan panja hingga disahkan pada hari ini. Enam fraksi menerima RUU itu disahkan yakni Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP dan PAN. Sementara Fraksi NasDem menyetujui dengan catatan seharusnya ada perubahan dalam klausul penganggaran kesehatan. Dua fraksi yang menolak yaitu Fraksi PKS dan Demokrat.
Anggota Fraksi Demokrat Dede Yusuf yang membacakan penolakan fraksinya di paripurna mengatakan salah satu yang membuat fraksinya keberatan adalah soal dihapuskannya mandatory spending atau anggaran alokasi wajib dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah 5% untuk kesehatan. Padahal seharusnya penganggaran wajib itu kata dia ditambah demi pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan.
"Peningkatan anggaran kesehatan melalui kebijakan fiskal dan minimal 5% dari APBN UU Nomor 36 Tahun 2009 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hendaknya dapat dtingkatkan jumlahnya. Dalam rapat panja (panitia kerja) mengusulkan peningkatan anggaran kesehatan di luar gaji namun tak disetujui," kata Dede dalam Rapat Paripurna di gedung DPR, Jakarta.
"Padahal mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperukan untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat," lanjut Dede.
Apalagi kata dia, menurut laporan Bank Dunia, tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) termasuk di dalamnya segi kesehatan, masyarakat Indonesia masih rendah yakni 72,91% yang membuat ranking Indonesia di 130 dari 190 negara.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Fraksi PKS Netty Prasetiyani juga membacakan keberatan fraksinya hingga menolak RUU ini disahkan. Netty mengatakan, pembahasan RUU dengan motode omnibus law tersebut sangat terburu-buru. Padahal diperlukan partisipasi publik yang lebih luas dan lama. Dia juga menyinggung soal mandatory spending sektor kesehatan.
"Fraksi PKS berpendapat bahwa mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup dengan adanya mandatory spending, maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat," kata Netty di Senayan.
Namun sayangnya hal tersebut kini dihapuskan.
"Mandatory spending adalah roh dan bagian terpenting dalam RUU Kesehatan ini. Fraksi PKS menginginkan kerja murah, sehat murah bagi masyarakata sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak pada masyarakat luas dan bukan kepada para pemilik modal," kata dia lagi.
Sementara Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam tanggapan resminya pada saat rapat paripurna hanya menyinggung singkat soal penganggaran di RUU Kesehatan Omnibus Law. Dia mengatakan, bentuk anggaran saat ini memang aka berbasis kinerja.
"Penganggaran berbasis kinerja dalam kerangka program kesehatan nasional bagi pemerintah dan pemerintah daerah," kata Budi.
Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang wajib dan sudah diatur oleh undang undang. Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah meliputi hal-hal yang di antaranya adalah alokasi anggaran kesehatan. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
(ezr)