Logo Bloomberg Technoz

Akibat disparitas harga yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite —yang kini dijual Rp10.000/liter— omzet Pertashop anjlok hingga 90% dan usaha tersebut diklaim tidak lagi menguntungkan.

Ilustrasi pengendara mengisi BBM di SPBU Pertamina. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Gunadi mengatakan dari 448 Pertashop; sebanyak 201 di antaranya merugi, terancam tutup, serta terancam disita asetnya lantaran tidak sanggup membayar angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan.

“Akibat disparitas harga [yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite], nilai atau jumlah Pertashop dengan omzet kurang dari 200 liter per hari mencapai 47% [dari total gerai Pertashop di Indonesia],” tuturnya.

Dengan omzet hanya 200 liter per hari, laba kotor yang didapatkan per gerai Pertashop saat ini diklaim hanya Rp5,1 juta per bulan. Nilai tersebut belum termasuk beban gaji untuk dua operator minimal Rp4 juta per bulan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta potensi losses sebesar 1%x6.000 liter per bulan.

“Jadi 47% teman-teman pengelola Pertashop yang punya omzet segitu bisa dibilang merugi. Ini belum untuk kewajiban ke bank,” terangnya.

Untuk diketahui, Pertashop merupakan lembaga penyalur resmi BBM Pertamina skala kecil, yang disiapkan untuk distribusi produk ritel Pertamina Group ke konsumen nonsubsidi. Selain Pertamax, gerai Pertashop mendistribusikan LPG, pelumas, serta produk ritel Pertamina lainnya.

Tujuan awal dibentuknya konsep Pertashop adalah mendekatkan produk energi ke konsumen akhir di perdesaan, yang selama ini belum terjangkau akses langsung ke lembaga penyalur resmi Pertamina.

“Ini memberi nilai tambah dari potensi sumber daya yang dimiliki desa, membuka peluang kerja sama pemerintah desa dengan mitra, dengan harapan dapat mempercepat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa,” kata Gunadi.

Adapun, dasar legalitas badan usaha Pertashop a.l. nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Pertamina dengan nomor 193/1536A/SJ tertanggal 20 Februari 2020 tentang Dukungan Pemerintah dan Masyarakat Desa dalam Peningkatan dan Pengembangan Pertashop di Desa.

Lalu, Surat Mendagri No. 117.3015 tertanggal 28 April 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Pertashop di Desa, serta Surat Mendagri No. 117.4102 tertanggal 16 Juli 2020 tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Program Pertashop.

Berdasarkan perhitungan asosiasi, modal yang dibutuhkan untuk Pertashop jenis Gold mencapai Rp250 juta dengan margin Rp850/liter, Pertashop Platinum Rp417 juta dengan margin Rp600/liter, sedangkan Pertashop Diamond Rp570 juta dengan margin Rp435/liter.

Akan tetapi, secara kumulatif, untuk mendirikan Pertashop jenis Gold –misalnya– dibutuhkan modal sekitar Rp570 juta—Rp600 juta akibat adanya tambahan biaya sewa lahan 10 tahun sekitar Rp100 juta, pendirian bangunan Rp200 juta, dan biaya lain-lain Rp20 juta.

“Pendiriannya juga bukan murni modal sendiri. Kebanyakan menggunakan fasilitas KUR [kredit usaha rakyat] dari bank BUMN atau BUMD,” jelas Gunadi.

Pemotor memadati SPBU Pertamina di Pangkal Pinang untuk mengisi BBM (Dimas Ardian/Bloomberg)

Desak Revisi  Aturan

Guna mengatasi masalah kerugian yang diderita pengusaha Pertashop, dia pun mendesak agar Peraturan Presiden No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak segera diterbitkan.

Seperti diketahui, regulasi tersebut diharapkan menjadi pengendali distribusi BBM bersubsidi. Dengan demikian, dia berharap revisi regulasi tersebut akan menjadi jembatan untuk mengamankan pangsa pasar Pertashop -yaitu BBM nonsubsidi- lantaran masyarakat tidak lagi sembarangan beralih ke BBM jenis Pertalite. 

"Dengan ini, kami mohon evaluasi atau monitoring tetang Pertalite di pengeccer, kami ingin segera sahkan revisi perpres No. 191/2014 karena sampai sekarang belum ada ketentuan mengenai Pertalite secara detail, beda dengan Solar yang konsumennya sudah tertata. Pertalite belum, masih banyak yang sebenarnya tidak boleh pakai Pertalite, tetapi ternyata masih ditemukan pakai BBM jenis Pertalite," kata Gunadi.

Revisi aturan yang akan memaktub perihal pembatasan BBM jenis Pertalite sampai dengan saat ini masih jadi tanda tanya besar. Belum ada informasi kapan revisi aturan tersebut diterbitkan dan bagaimana mekanisme pembatasannya.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji pada akhir Mei mengatakan revisi Perpres No. 191/2014 masih belum rampung.

Terkait dengan pembatasan pembelian Pertalite yang sudah berjalan di beberapa daerah, dia menyebut belum resmi berlaku alias masih diuji coba.

“Oh, itu belum resmi. Revisi masih ada di kami,” katanya ketika ditemui oleh awak media di Kompleks Parlemen.

Tutuka enggan menjelaskan bagaimana mekanisme pembatasan Pertalite yang akan diatur dalam revisi beleid tersebut. Namun, menurut kabar yang beredar, melalui revisi peraturan tersebut, nantinya akses pembelian Pertalite akan dilarang untuk kendaraan roda empat di atas 1.400 cc dan roda dua di atas 250 cc.

(wdh/hps)

No more pages