Merawat Bali dari Desa Tenganan
Donald Banjarnahor
13 July 2024 15:58
Bloomberg Technoz, Jakarta - Ketika menginjakan kaki di Desa Tenganan yang berlokasi di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, kita seolah-olah tidak seperti berada di Bali. Di dalam Desa ini tidak ada hotel, villa, resort, bar, hingga kendaraan roda empat, seperti yang kita lihat di wilayah Desa Kuta, Seminyak, Sanur, hingga Ubud.
Polusi udara, polusi suara dan segala sesuatu yang negatif bawaan dari perkotaan adalah hal yang nihil di desa ini. Yang ada adalah sebuah kesederhanaan, keramahan, dan komitmen tinggi untuk merawat tradisi dan budaya selama ratusan tahun.
Baca Juga
Sebagai Desa Bali Aga, Tenganan memiliki hukum adat yang ketat dalam merawat alam agar tidak punah karena tergoda pembangunan dengan kedok kemajuan zaman. Dengan luas wilayah desa 917 ribu hektar, sekitar 60% wilayahnya masih hutan yang asri dan terpelihara dengan baik.
Takk ada satupun pohon di dalam hutan yang boleh ditebang. Bila melanggar, maka hukum adat siap menanti. Bahkan ada empat komoditas di hutan Tenganan yang hasilnya tidak boleh dipanen untuk kepentingan pribadi, meskipun tumbuh di tanah sendiri. Empat komoditas ini adalah Durian, Kemiri, Kluwak, dan Teep.
Desa ini takk mengenal sertifikat hak milik meskipun desa menyediakan tanah untuk seluruh warga. Tanah itu bisa digunakan untuk membangun rumah ataupun digarap menjadi pertanian ataupun ladang. Ini yang menyebabkan tidak ada alih fungsi hutan atau lahan di Desa Tenganan, yang telah menjadi masalah di berbagai wilayah Bali.
Meskipun terkesan tertutup dari budaya luar, namun Desa Tenganan tidak pernah menutup pintu untuk kedatangan tamu, termasuk wisatawan lokal dan asing. Setiap hari ratusan hingga ribuan wisatawan datang ke Desa Tenganan, baik untuk mencoba jalur pendakian Tenganan Trekking maupun sekedar menikmati desa Bali Aga ini. Tak heran, desa ini cukup sejahtera untuk membiayai semua upacara adat, termasuk yang terkenal dan jadi buruan para turis, Perang Pandan.
Dari Desa Tenganan kita belajar tradisi dan budaya kuno tak harus lekang oleh kemajuan zaman. Bahkan bisa jadi tradisi dan budaya ini yang menjadi benteng kuat dalam melawan keserakahan pembangunan.
(dba/dre)